Mohon tunggu...
Mardani Malemi
Mardani Malemi Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Teungkumalemi. Nama aslinya adalah Mardani Malemi. Lahir di sebuah kampung pedalaman di Kabupaten Pidie, Aceh, 03 Mei 1981. Ia adalah seorang jurnalis dan penulis Novel, "Jiwa yang Termaafkan."

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tanpa Sekat... [Refleksi Sebuah Gampong di Aceh]

2 Januari 2013   11:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:37 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yang istimewa adalah masjid. Mungkin ini akan membuat Anda terpesona. Lihatlah ornamennya, ini mengingatkan saya akan masjid-masjid di Turki. Suatu Negara di Timur Tengah yang kini telah masuk ke perkumpulan negera-negara Eropa (Uni Eropa).

Juga tidak ada bau "macam-macam" di Juli Tgk Dilampoh. Kami merasakan semua bau dan hawanya segar. Malah mata kami juga ikut dimanjakan dengan lingkungannya yang bersih. "Kalau mau dekat dengan lomba lebih bersih lagi," tutur Meutia, ketua PKK Juli Tgk Dilampoh, membuka rahasia.

Begitu pula geliat kreatifitas penduduk gampong, meski umumnya berkebun dan menjadi tukang, tapi pusat-pusat industri rumahan juga tumbuh di sini. Seperti industri tradisional anyaman pelepah rumbia dan menjahit. Sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Soal usaha menjahit, tim ekspedisi Tabloid Trang menemukan sebuah keluarga yang begitu optimis mengembangkan usaha menjahit dari rumahnya sendiri. Niat dan kerja keras mereka terbukti tidak sia-sia. Usaha itu justru terus berkembang dan menjadi home industri (industri rumahan) yang potensial.

Soal kreatifitas lainnya, ada kebanggaan tersendiri saat anak-anak hingga para remaja bisa bergabung dalam grup Rabbani. Sebuah tradisi seni ala Timur Tengah dengan syair-syair yang bercerita tentang sejarah nabi dan pujian kepada Allah Swt. Informasi yang diperoleh tim ekspedisi Tabloid Trang pun menyebutkan, hanya ada dua grup Rabbani di Kabupaten Bireuen. Satunya lagi ada di Samalanga.

"Pementasannya biasa dilakukan pada malam hari raya puasa (Idul Fitri) dan dilakukan selepas takbir. Biasanya sekitar jam 2.00 dinihari," tutur seorang remaja anggota grup Rabbani. "Pementasan Rabbani tidak akan berhenti sampai (malah) anggota grup terkulai lemas."

Dengan dengan syair yang begitu syahdu, tak mengherankan banyak masyarakat (bahkan dari luar Juli Tgk Dilampoh) menunggu-nunggu pementasan Rabbani. Dimulai dengan lenggok ala Saman hingga tarian bergrup memutar ala Seudati.

"Allah Rabbani Allah... Allah...." Begitu di antara syair yang menggema. Memperteguh keyakinan anak-anak hingga orang dewasa untuk terus menuntut ilmu selama hayat dikandung badan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun