[caption id="" align="alignnone" width="640" caption="Inilah Makam Habib Bugak"][/caption] “Maaf Teungku, arah ke gampong tempat makamnya Habib Bugak Al-‘Asyi ke mana ya?” Pemuda berumur sekitar 40-an yang kami tanyai itu sedikit bingung. Bertanya ke sesamanya yang sama-sama sedang asyik menyerumput kopi. Hari itu, Sabtu (13/10/2013) sekitar pukul 16.00 Wib, kami baru sekitar 100 meter melintasi Gapura bertuliskan, “Kawasan Minopolitan.” Perjalanan hari itu adalah dalam rangka ekspedisi memenuhi kebutuhan tulisan untuk Tabloid Trang. “Pante Peusangan.” Kami mencoba untuk menyebut nama gampongnya (desa). “Ooo! Kalau begitu adik-adik ini harus berbalik arah kembali. Nanti belok saja ke arah kanan dekat gapura.” Saat itu kami memasuki wilayah Jangka melalui pusat kota Matangglumpangdua. Untuk sampai ke Pante Peusangan dari tempat kami bertanya, kami hanya harus menempuh jarak sekitar 2 kilometer lagi. Kami pun harus sedikit hati-hati saat melintasi jalan utama gampong karena beberapa ruas jalan telah berlobang. Habib Bugak Al-‘Asyi sebenarnya kian terkenal sejak para jamaah haji asal Aceh setiap tahun mendapatkan uang dari Baitul Asyi sekitar Rp2.500.000 setiap jamaahnya. Terlepas dari perdebatan soal silsilah dan siapa sebenarnya Habib Bugak Al-‘Asyi, pengalaman kami di atas setidaknya sedikit memberi gambaran bahwa Habib Bugak Al-Asyi ternyata masih kurang dikenal oleh masyarakat Aceh secara umum. Kecuali oleh mereka yang pernah berhaji ke Mekkah atau mereka-mereka yang peduli dengan sejarah Aceh. Nama Habib Bugak Al-Asyi sendiri baru terasa akrab di telinga masyarakat saat kami memasuki wilayah Pante Peusangan, Jangka. Hal itu tercermin saat kami berdialog dengan Keuchik Ridwan Muhammad. Kami pun kemudian sempat difasilitasi untuk bertemu dengan sesepuh gampong Said Zainal Abidin yang berusia sekitar 112 tahun. Warga sekitar memanggilnya Habib Zainon. Kami sempat berbincang sejenak dengannya. Habib Zainon juga bercerita siapa Habib Bugak Al-‘Asyi yang ia yakini. Pasca dari rumah Habib Zainon, kami beranjak ke makam Habib Bugak Al-‘Asyi. Menurut keyakinan Habib Zainon, di makam yang telah dipugar dengan beton setinggi dagu orang dewasa itu terdapat tiga pusara: Habib Abdurrahman, Habib Muhammad, dan Habib Hasan. Baca: habib-bugak-dalam-kajian-hilmy-bakar & baca juga habib-zainon-112-th-habib-bugak-adalah... Untuk mencapai makam, kami harus melintasi jalan setapak. Tetumbuhan ilalang juga tampak mengelilingi makam yang berada di Dusun Pante Sidom Gampong Pante Peusangan Kemukiman Bugak itu. Kami baru beranjak pulang setelah memanjatkan doa dan membaca beberapa ayat suci Al-Quran. Sekaligus mengabadikan beberapa foto. *** Gampong Pante Peusangan memiliki luas wilayah 75 hektar. Sekitar 35 hektar di antaranya adalam area persawahan yang telah didukung dengan sarana irigasi. Penduduknya sendiri kini mencapai 470 jiwa: 231 laki-laki dan 239 perempuan yang terhimpun dalam 102 kepala keluarga (KK). Sebanyak 320 jiwa atau 68 KK berada di bawah garis kemiskinan. Untuk mencapai ke Pante Peusangan, kita harus menempuh perjalanan sekitar 9 kilometer dari pusat Kota Matangglumpangdua atau 19 kilometer dari pusat Kota Bireuen. Sekilas tidak ada yang istimewa dari Pante Peusangan. Nuansa bahwa di gampong tersebut terdapat makam Habib Bugak Al-‘Asyi juga belum nampak sama sekali. Tidak ada arah petunjuk apapun untuk mencapai makam maupun pernak-pernik lainnya yang memberi nuansa khas bahwa di Pante Peusangan lah benar adanya pusara seorang ulama pewakaf Baitul ‘Asyi. Aktivitas sehari-hari masyarakat pun terlihat jauh dari hiruk pikuk. Sekretaris Gampong Pante Peusangan, Sudirman mengatakan, umumnya masyarakat Pante Peusangan bermata pencaharian sebagai petani. Hanya sebagian kecil yang bekerja di instansi pemerintahan dan wiraswasta. “Kalau pemuda di sini juga membuka lahan cabe,” tutur Sudirman. “Luasnya kira-kira 5 hektar.” Soal pendidikan, Sudirman mengakui bahwa antara tahun 2006-2010, banyak anak-anak usia sekolah yang tidak melanjutkan lagi pendidikannya. Anak-anak yang putus sekolah bervariasi. Mulai tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Mengengah Atas (SMA). Tapi umumnya mereka tidak melanjutkan lagi sekolahnya saat telah lulus dari SMP. “Kalau saya malah tidak pernah mendapatkan ijazah SD.” Seorang remaja yang duduk disekeliling kami ikut menimpali. Kalau diperhatikan usianya mungkin belum lebih dari 25 tahun. “Dulu masyarakat di sini dihadapkan pada persoalan, kalau anak-anak mereka sekolah, nafkah di rumah tidak mencukupi,” timpal Sudirman, kembali. “Tapi, sejak tahun 2011 hingga 2012 ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan telah tinggi. Untuk tahun 2012 ini sendiri tidak ada lagi anak-anak yang tidak sekolah.” “Apalagi jarak Pante Peusangan ke sekolah sangat terjangkau. Atau hanya sekitar 1 kilometer ke SMA Jangka dan 800 meter ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Jangka.” Untuk memperkuat syiar Islam, di Gampong Pante Peusanganterdapat dua lembaga pendidikan Islam setingkat dayah, yaitu: Dayah Nurul Fata dan Dayah Bustanul Ulum. (mardani malemi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H