Kali ini saya ingin mengupas sedikit mengenai Bumi Cenderawasih. Abi (Ayah) saya pagi ini berangkat pulang kembali ke Tanah Papua, tepatnya di Merauke, tempat beliau bekerja. Jauh sekali memang, seperti yang selalu Mama saya katakan: Lebih dekat dari Jakarta ke Perth dibandingkan ke Merauke! Mau tahu berapa lama penerbangan Jakarta ke Papua via Makassar? Cukup dengan sembilan jam ( Laa Ilaaha Ilallah).
Tanah Papua memang serba unik. Hanya pulau ini yang memliki kanguru pohon, kanguru bermantel emas ( seperti sedang memakai jaket warna kuning), burung Kasuari, burung cenderawasih yang tampak seperti peserta karnaval di Rio de Janeiro, serta Gurano bintang ( Paus bermotif polkadot). Hanya di pulau ini bandaranya memiliki bercak - bercak merah bekas warga mengunyah pinang, dan juga makan seafood sepuasnya dengan harga yang murahnya kelewat murah ( ini serius, anda dapat menikmati lobster segar dengan harga emperan ), atau ingin melihat puncak gunung berselimut salju dan gletser - padahal anda sedang berada di rentang khatulistiwa? hanya di Papua tempatnya!
Papua, sebelum bergabung dengan Republik Indonesia, bernama resmi Nederlandse Nieuw Guinea, atau Nugini Belanda. Sementara saudara kembarnya di sebelah timur, diklaim oleh Kerajaan Inggris dengan nama Papua New Guinea. New Guinea tadinya hanya sebutan untuk sebagian wilayah jajahan Jerman di sebelah tenggara pulau kedua terbesar di dunia ini. Papua New Guinea atau Papua Niugini ( PNG) sampai hari ini masih dikepalai oleh Ratu Inggris. Setelah pepera pada 1969, Wilayah Nugini Belanda resmi menjadi bagian dari NKRI dan berganti nama menjadi Irian Jaya ( Irja). Kata Irian secara harafiah berarti cahaya di penghujung kabut.
Sedangkan, pada zaman Presiden Abdirrahman Wahid, nama tersebut kemudian kembali berganti menjadi Papua, yang berasal dari sebutan bangsa Portugis untuk orang - orang berkulit hitam dan berambut keriting. Pergantian nama ini tentu merupakan kebijakan politis untuk merangkul aspirasi orang Papua, yang juga menginginkan bendera bintang kejora dan otonomi yang lebih luas, ditandai dengan dibentuknya Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua sebagai institusi representatif kultural orang Papua yang memang berasal dari ras Melanesoid. Secara persentase, ras ini merupakan minoritas di Indonesia, yang didominasi oleh ras Melayu Mongoloid.
Saya rasa kebijakan Keluarga Berencana "Dua Anak Cukup" tidak perlu untuk diterapkan di Papua. Hal tersebut dapat menahan laju pertumbuhan penduduk asli Papua yang saat ini masih sekitar 3 juta jiwa saja. Mari kita ambil contoh China yang membebaskan wilayah Muslim Xinjiang dari kebijakan satu anak nya ( one child policy) sehingga pertumbuhan populasi Muslim Uyghur dapat terjaga. Jika tidak, hal ini dapat dijadikan semacam isu oleh kelompok pro - separatisme.Sampai hari ini, Organisasi Papua Merdeka / OPM masih bergerilya menuntut kemerdekaan untuk wilayah yang penduduknya gemar mengonsumsi Papeda ini.Â
Cukup sekilas tentang Papua secara umum. Kini saya ingin membahas mengenai Jayapura ( saya pernah mengunjungi kota ini pada 2012. Kota yang sebelumnya bernama Hollandia ini sangat bersih. Memang tidak ada mall atau gedung pencakar langit, namun suasananya tetap menyenangkan. Karena sepi, saya tidak merasa betah untuk berada di sana melebihi tiga hari. Tidak sulit juga bagi saya untuk menemukan masjid di sana, meskipun mayoritas penduduk kota adalah umat Kristen. Jika ke kota ini, anda dapat berjalan - jalan ke bukit yang memiliki ikon huruf JAYAPURA sehingga menyerupai ikon Hollywood atau bisa juga ke pantai Dok II. Hiburan malam disini tidak terlalu banyak. Jika ingin ke danau, dapat meneruskan perjalanan ke Sentani, yang jaraknya tidak jauh. Sebenarnya penduduk Jayapura cukup beragam, karena selama disana, saya menemukan banyak penduduk beretnis Jawa, Minahasa, Bugis, Makassar, Tionghoa dan.lain sebagainya. Untuk foto - foto, akan segera saya tambahkan ke dalam post.
Jujur, saya pribadi lebih menyukai nama Papua di bandingkan Irian. Meskipun artinya bagus, namun nama Papua lebih merepresentasikan identitas masyarakat pulau tersebut. Memangnya mengapa dengan kulit hitam dan rambut keriting? Kalaupun sampai dengan hari ini belum ada satu selebriti berdarah Papua yang menjadi tokoh utama suatu FTV atau sinetron dan iklan, saya rasa bukan karena industri hiburan tanah air sengaja mendiskreditkan etnis tertentu. Namun karena pola pikir orang Indonesia masih belum move on dari mindset "Inlander" yang menganggap wajah kebarat - baratan lebih berkelas dan menjual, sampai - sampai ada istilah grade A, B, C, Oriental, Pan Asia, dan sebagainya di dunia periklanan. Kita ini manusia atau barang ya? Puki lah! :D
Mengenai wisata. Sebetulnya, ada banyak juga tempat yang dapat menjadi rekomendasi destinasi pelancongan Kompasianers di Papua. Jika selama ini yang lebih terekspos adalah Raja Ampat untuk menyelam, maka coba anda pergi ke Merauke, Wamena dan Asmat. Merauke sebagai titik ujung timur perbatasan NKRI, memiliki Taman Nasional Wasur yang eksotis.
Disini anda dapat menemukan sarang semut raksasa yang mungkin anda kira hanya ada dalam dongeng! Dan jika beruntung, anda akan menemukan Kanguru, yang sudah mulai jarang karena banyak diburu warga untum dibuat menjadi dendeng. Di Wamena, anda dapat pergi ke Lembah Baliem, yang memiliki festival Baliem yang kaya akan nuansa budaya Papua. Baliem juga terkenal dengan buah Merah yang berkhasiat untuk pelbagai penyakit. Di Asmat, anda dapat melihat - lihat kampung adat suku Asmat yang terkenal sebagai sentra ukir - ukiran tradisional. Siap - siap merogoh kocek dalam - dalam karena kualitas ukiran mereka sangat sebanding dengan harga yang dibanderol.
Menurut saya, Papua amatlah menyenangkan. Menikmati Papua adalah menikmati Indonesia, dan dengan melihat Papua, kita melihat Indonesia. Indonesia bukanlah Jakarta yang gemerlap, kinclong dan individualis. Di Papua yang sederhana, kita akan menemukan kembali keindonesiaan, dimana seorang Muslim membantu mereka yang Kristen, dan dimana orang Jawa bahu membahu dengan orang asli Papua. Pesan untuk pemerintah atau siapapun yang membaca opini ini, saya pernah berdialog dengan Michael Rumaropon, salah satu aktifis HAM Papua yang juga berdagang Gaharu. Menurutnya, apa yang diinginkan orang Papua sebenarnya sederhana: minimalisir campurtangan militer.
Mungkin terdengar utopis, tapi mereka hanya ingin dihargai sebagai sesama anak - anak bangsa, yang ingin bersatu membangun kampungnya. Siapapun memiliki kepentingan politis, pasti. Namun saya rasa memang Jakarta belum bersungguh - sungguh dialog dari hati ke hati dengan Papua. Baru sebatas blusukan saat Natal saja. Mengenai kultur juga, biarlah penduduk Papua bebas untuk memilih pangannya. Sagu sudah semenjak awal peradaban mereka, telah menjadi pangan pokok. Bukan beras, yang saya perhatikan semakin hari semakin digalakkan oleh Negara untuk dikonsumsi di sana. Seolah - olah kalau tidak makan nasi, gak oleh sego, nggak Indonesia, gitu. Cobalah lebih bijak dalam merangkul pangan lokal.