[caption caption="Andreas Pierre Tendean, keturunan Prancis - Indonesia, berjasa sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia"][/caption]"Indonesia Tanah airku, Tanah tumpah darahku/ Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku" - Indonesia Raya ( Wage Rudolf Supratman)
Opini ini pertama - tama saya tujukan untuk rekan - rekan; saudara sebangsa - setanah air yang berlatarbelakang keturunan asing secara etnis atau ras, bagaimana peran mereka dan sudah efektifkah dan sudah maksimalkah peran dan bakti mereka dalam berbagai sektor di Indonesia? Yang kedua, secara khusus saya tujukan kepada pemerintah Indonesia, sudah seberapa merangkulkah Negara ini terhadap mereka yang diklaim bukan berembel - embel pribumi atau bumiputra?
Mari kita kulik terlebih dahulu Undang - Undang (UU) Kewarganegaraan kita. Menurut UU Kewarganegaraan Republik Indonesia No 12 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia yaitu:Â
1. Setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan ibu seorang WNA, atau sebaliknya
4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
5. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia
Selain itu, diakui juga permohonan kewarganegaraan melalui proses naturalisasi oleh perjabat berwenang. Adapun Indonesia menganut asas ius soli dengan ius sangunis terbatas, serta memungkin bipatride atau kewarganegaraan ganda.
UU ini pada dasarnya menggantikan UU No 62 Tahun 1958 yang mendefinisikan WNI sebagai orang yang menerima kewarganegaraan Indonesia sebelum UU tersebut disahkan; serta Keturunan bangsa lain yang disahkan menjadi WNI melalui proses pewarganegaraan. Yang dimaksud dengan orang - orang dari bangsa lain dalam UU ini terutama adalah keturunan Tionghoa, Timur Asing Lain ( Arab, India, Pakistan, Yahudi, Jepang) serta keturunan Eropa. Opini ini akan membahas peran masing - masing etnis keturunan asing tersebut, dengan tetap berperspektif UU No 12 Tahun 2006, yang menggarisbawahi bahwa mereka pada dasarnya adalah WNI, walaupun sejatinya berdasarkan UU ini sudah resmi tidak berlaku lagi istilah 'keturunan asing'.
Indonesia, dalam perjalanan sebagai bangsa, telah menyaksikan sumbangsih yang begitu besar dari para keturunan asing ini. Mulai dari Masa Perang Kemerdekaan, sebut saja Siauw Giok Tjan, Lie Eng Hok, Kapten John Lie, Abdurrahman Baswedan, Djiaw Kie Siong, Charles Mussry, serta ratusan perwira Jepang yang membelot mendukung Merah Putih. Jasa dan kisah heroik mereka seakan terpendam dan tanpa ekspos berarti dari Negara. Baru - baru ini, Nama John Lie diabadikan sebagai nama KRI. Namun saya yakin, sedikit sekali adik - adik kita di sekolah dasar yang mengetahui perannya.Â
Era Soekarno diwarnai dengan periode Bersiap, periode dimana repatriasi orang - orang Belanda dan orang Indo atau Indische ( separuh Eropa) dilakukan, dan diwarnai tindak kekerasan dan genosida oleh kelompok pro - republik. Saya memaklumi alasan mengapa mereka melakukan pengusiran atas nama nasionalisasi ini, namun terkadang saya menyesalkan bahwa bangsa kita telah melakukan suatu kesalahan yang mengakibatkan luka sejarah yang membentang ribuan mil dari Indonesia ke Belanda, bahkan Amerika, tempat ribuan orang Indo tersebut mengungsi.
Di era Orde Baru, peran WNI keturunan asing mulai diperkecil, dengan sensasi anti - cina, sentimen anti PKI yang kemudian berujung pengerdilan ruang gerak keturunan Tionghoa ke dalam sektor ekonomi saja (Sebut saja Ciputra, Sudono Salim, Keluarga Tanoto, Moerdaya Poo, Mochtar Riady, Eddy Tansil dll) yang berakhir ketika Presiden Gus Dur mengakui Kong Hu Chu, mencabut Surat Bukti Kewarganegaraan RI serta menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Tanpa bermaksud superior, Keturunan Tionghoa, dengan etos kerja kerasnya, harus diakui, merupakan penggerak perekonomian terbesar negeri ini, dengan aset yang fantastis ( Mari kita jujur, berapa banyak sudah lapangan kerja telah tersedia melalui usaha mereka?)
Adapun kelompok keturunan Arab dan India merupakan dua kelompok keturunan asing yang relatif aman dari diskriminasi dalam bermasyarakat Indonesia. Peran keturunan Arab dapat dilihat dari dominasi mereka dalam institusi keagamaan Islam ( Baik itu Sunni, yang diwakili oleh banyak Habib - Habib kharismatik maupun kelompok mahzab Syiah ) yang berkembang di Indonesia. Keturunan Arab pada umumnya juga merupakan pedagang. Legenda Musik Rock Indonesia, Ahmad Albar, adalah Arab Indonesia. Dewasa ini, banyak sekali pemuda Indonesia keturunan Arab berinovasi untuk kemajuan bangsa, seperti Nadiem Makarim ( GoJek), atau Gamal Albinsaid ( bank Sampah di kota Malang). Adapun keturunan India dan Pakistan lebih mendominasi sektor perfilman ( Keluarga Punjabi), showbiz, garmen dan textil. Sri Prakash Lohia, merupakan salah satu konglomerat Indonesia berketurunan India.
Keturunan Yahudi, walaupun berjumlah sangat mikro, namun banyak yang menuai keberhasilan dalam sektor perdagangan dan  bisnis. Sebut saja Irwan Danny Mussry atau Japto Soeryosoemarno, yang merupakan pengusaha sukses Indonesia.Â
Dunia hiburan adalah salah satu sektor yang konsisten memberi ruang kepada WN keturunan asing di setiap zaman.Kelompok Indo, pada era 1980-an lebih terkenal sebagai supplier utama pesohor dunia hiburan tanah air. Sebut saja Sherly Malinton, Lidya Kandouw, Barry Prima, Jhony Indo, Suzanna, Meriam Bellina. Di era 1990-an sampai 2000, tren yang berlaku ialah wajah - wajah keturunan Timur Asing seperti Primus Yustisio ( Pakistan Indonesia), Ayu Azhari ( India Indonesia). Di era 2000 awal, tren wajah oriental membawa kesuksesan untuk  Roger Danuarta, Agnes Monica ( Tionghoa Indonesia).  Adapun paska 2005 sampai kini, tren kembali ke kelompok Indo ( Marcel Chandrawinata, Al Ghozali Kohler, Teuku Rasya, Chelsea Islan, Pevita Pearce, dll).Â
Di luar kelompok - kelompok di atas, Saya juga mengidentifikasikan kelompok Kulit Putih atau White Indonesian (Bule) yang walaupun tidak terorganisir dan berjumlah sangat mikro, sebenarnya telah turut membangun bangsa ini. Sebut saja Idjon Djanbi yang memprakarsai Kopassus, Poncke Princen pegiat HAM atau Frans Magnis Suseno yang aktif dalam membina dialog antariman untuk perdamaian serta Mustafa, musisi yang giat menyebarkan cinta dan syiar Islam melalui kelompok Debu.
Ditinjau dari sektor lain? Di bidang olahraga, ada Susi Susanti, Alan Budikusuma, Tami Grande, Gurnam Singh, Cristian Gonzales, Irfan Bachdim dan Linswell. Di bidang politik, kita menemukan peningkatan ( jumlah dapat diriset lebih lanjut) presentasi keikutsertaan keturunan asing. Nama - nama seperti Grace Natalie, Alvin Lee, Hasan Karman, Rudianto Tjen, Basuki Tjahaja Purnama / Ahok, Li Claudia, Nurhayati Ali Assegaff, Tjahjo Kumolo, Anies Baswedan, Nabiel Almusawa, Aboe Bakar Alhabsyi. Di era - era pemerintahan sebelumnya, ada HS Dhillon, Mari Elka Pangestu, Kwik Kian Gie, Ali Alatas, Alwi Shihab, yang telah membuktikan bahwa keturunan asing, tidak layak lagi untuk terus dilabeli sebagai keturunan asing. Karena sumbangsih yang mereka berikan sejatinya tidaklah dapat menafikan keindonesiaan mereka.
Dosen sekaligus Sosiolog UNAS ibu Nia Elvina pernah berujar saat berdiskusi dengan saya. " Ketika kita berkenalan dengan teman, lalu bertanya ' apa sukumu'? ' dari mana asalnya'?, sesungguhnya kita telah melupakan Pancasila. Karena ketika kita sudah menjadi Indonesia, tidak perlu lagi kita berkutat pada permasalahan perbedaan ras, agama, suku, gender, warna kulit. Kita semua adalah Indonesia."
Hal ini tentu menggugah nurani siapapun yang mencintai bangsa ini. Tanpa bermaksud politis, sudah seharusnya Indonesia benar - benar bertransformasi menjadi rumah yang nyaman untuk semua - tanpa pandang bulu. Kedepannya, saya pribadi berharap dapat melihat kesempatan yang setara, dimana keturunan asing dapat berkesempatan memimpin NKRI, sebagaimana saudara - saudara lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H