Dunia hiburan adalah salah satu sektor yang konsisten memberi ruang kepada WN keturunan asing di setiap zaman.Kelompok Indo, pada era 1980-an lebih terkenal sebagai supplier utama pesohor dunia hiburan tanah air. Sebut saja Sherly Malinton, Lidya Kandouw, Barry Prima, Jhony Indo, Suzanna, Meriam Bellina. Di era 1990-an sampai 2000, tren yang berlaku ialah wajah - wajah keturunan Timur Asing seperti Primus Yustisio ( Pakistan Indonesia), Ayu Azhari ( India Indonesia). Di era 2000 awal, tren wajah oriental membawa kesuksesan untuk  Roger Danuarta, Agnes Monica ( Tionghoa Indonesia).  Adapun paska 2005 sampai kini, tren kembali ke kelompok Indo ( Marcel Chandrawinata, Al Ghozali Kohler, Teuku Rasya, Chelsea Islan, Pevita Pearce, dll).Â
Di luar kelompok - kelompok di atas, Saya juga mengidentifikasikan kelompok Kulit Putih atau White Indonesian (Bule) yang walaupun tidak terorganisir dan berjumlah sangat mikro, sebenarnya telah turut membangun bangsa ini. Sebut saja Idjon Djanbi yang memprakarsai Kopassus, Poncke Princen pegiat HAM atau Frans Magnis Suseno yang aktif dalam membina dialog antariman untuk perdamaian serta Mustafa, musisi yang giat menyebarkan cinta dan syiar Islam melalui kelompok Debu.
Ditinjau dari sektor lain? Di bidang olahraga, ada Susi Susanti, Alan Budikusuma, Tami Grande, Gurnam Singh, Cristian Gonzales, Irfan Bachdim dan Linswell. Di bidang politik, kita menemukan peningkatan ( jumlah dapat diriset lebih lanjut) presentasi keikutsertaan keturunan asing. Nama - nama seperti Grace Natalie, Alvin Lee, Hasan Karman, Rudianto Tjen, Basuki Tjahaja Purnama / Ahok, Li Claudia, Nurhayati Ali Assegaff, Tjahjo Kumolo, Anies Baswedan, Nabiel Almusawa, Aboe Bakar Alhabsyi. Di era - era pemerintahan sebelumnya, ada HS Dhillon, Mari Elka Pangestu, Kwik Kian Gie, Ali Alatas, Alwi Shihab, yang telah membuktikan bahwa keturunan asing, tidak layak lagi untuk terus dilabeli sebagai keturunan asing. Karena sumbangsih yang mereka berikan sejatinya tidaklah dapat menafikan keindonesiaan mereka.
Dosen sekaligus Sosiolog UNAS ibu Nia Elvina pernah berujar saat berdiskusi dengan saya. " Ketika kita berkenalan dengan teman, lalu bertanya ' apa sukumu'? ' dari mana asalnya'?, sesungguhnya kita telah melupakan Pancasila. Karena ketika kita sudah menjadi Indonesia, tidak perlu lagi kita berkutat pada permasalahan perbedaan ras, agama, suku, gender, warna kulit. Kita semua adalah Indonesia."
Hal ini tentu menggugah nurani siapapun yang mencintai bangsa ini. Tanpa bermaksud politis, sudah seharusnya Indonesia benar - benar bertransformasi menjadi rumah yang nyaman untuk semua - tanpa pandang bulu. Kedepannya, saya pribadi berharap dapat melihat kesempatan yang setara, dimana keturunan asing dapat berkesempatan memimpin NKRI, sebagaimana saudara - saudara lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H