Mohon tunggu...
Teuku Azhar Ibrahim
Teuku Azhar Ibrahim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Program Manager FDP

Lahir di Sigli Aceh, Menyelesaikan study bidang Filsafat di Univ. Al Azhar Cairo. Sempat Menetap Di Melbourne dan berkunjung ke beberapa negara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Rohingya Belajar di Aceh

31 Mei 2015   21:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekspedisi cinta dengan Es Krim dan Roti telah menyentuh hati Pembina dan Penderma Yayasan  SM. Amin asal Malaysia yang menjalankan program di Aceh, beliau telah memutuskan untuk memberi perhatian khusus kepada para pengungsi Rohingya, berupa  kunjungan secara periodik. Ekpresi SM.Amin menggambarkan sikap masyarakat Malaysia, walau dalam salah satu judul berita mengatakan; Malaysia menolak pengungsi Rohingya, bukan bermakna semua warga punya pandangan yang sama. Demikian juga warga Negara Asean lainnya. Pernyataan resmi pemerintah belum tentu mewakili semua anggota masyarakat. Adapun nelayan Aceh mereka putuskan untuk mengambil resiko maka terjadilah apa yang terjadi.

Menurut pantauan dalam ekspedisi cinta Rohingya kedua; para pengungsi nampak lebih ceria,dan bersemangat. Artinya semangat hidup mereka kembali menyala, anak-anak bermain riang gembira seakan di negeri sendiri. Bak pepatah lama;  bagi anak-anak dimana ada tempat bermain  disitulah negerinya. Berkomunikasi dengan anak-anak setempat tidak perlu penerjemah, bahasa beda tapi mereka saling mengerti, aneh  bin ajaib. Para relawan dan dermawan telah melengkapi dengan media belajar dan bermain untuk anak-anak pengungsi.

Diluar arena pengungsi, masyarakat luas telah membicarakan tindak lanjut dari hak belajar anak-anak pengungsi. Seperti sebuah pesantren di Bireun menyatakan siap menampung 200 orang anak pengungsi, demikian juga dengan pesantren-pesantren lain seluruh Aceh, bahkan pesantren-pesantren di luar Aceh pun telah menyatakan sikap yang sama. Masa depan pendidikan mereka telah disambut oleh persaudaraan Muslim dengan hati terbuka dan harapannya penuh tanggungjawab.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada semua pihak, sebaiknya anak-anak Rohingya tetap disekolahkan di lembaga-lembaga pendidikan di Aceh, karena secara agama mereka tetap berada dalam lingkungan masyarakat Islam mayoritas, barangkali akan memberi rasa aman secara phisikologis yang lebih karena mereka trauma dengan kekejaman dan tekanan dahsyat saat hidup di negeri asal sebagai minoritas.

Anak-anak Rohingya memiliki hak untuk menjaga tradisi bahasa, adat-istiadat dan budaya leluhur mereka walau telah terdampar di negeri asing. Hal itu bersambut dengan sikap pemerintah Aceh Utara dan komitmen mereka untuk membantu Pengungsi Rohingya sepenuhnya.  Pemerintah Aceh Utara telah menyediakan tanah seluas 2500 meter persegi untuk tempat tinggal pengungsi Rohingya.

Bila itu terjadi,  maka adat budaya Rohingya tetap terjaga dengan baik, anak-anak mereka yang sekolah di Aceh akan dengan mudah kembali ke Kampung Harapan baru mereka, berbicara dengan bahasa ibu, selain bahasa Aceh dan Indonesia. Jarak tempuh yang tidak jauh tentu tidak merisaukan hati-hati orang tua dari anak-anak yang tertindas oleh prilaku para teroris Myanmar.

Bukan saja dari Aceh Utara, tapi seluruh masyarakat Aceh menerima kehadiran Rohingya sebagai saudara,  tentu juga masyarakat Indonesia dan  muslim sedunia, terbukti dengan keterlibatan mereka dalam mengantar bantuan. Sebagaimana Kata Gubernur Aceh; Biaya untuk pengungsi Rohingya bukan dari pemerintah tapi swadaya masyarakat. Artinya dengan swadaya masyarakat  saja bantuan sudah memadai tanpa keterlibatan pemerintah. Bukan bermakna pemerintah bisa lepas tangan, untuk menekan pemeritah Myanmar tidak bisa dilakukan oleh para nelayan, mesti kesepakatan dan kehendak  para pemimpin Negara  Anggota Asean, juga Konfrensi Asia-Afrika untuk harga diri penduduk dua benua.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh bilang; jika pemerintah tak mau bantu, tak apa-apa, warga Aceh siap Insya Allah. Lalu Pimpina  pesantren di Aceh Barat berdoa secara berjamaah; Ya Allah kirim juga kepada kami pengungsi Rohingya kepada kami jangan ke Aceh Utara saja. Kedengarannya lucu, tapi itulah sebuah ekpresi keterbukaan hati.

Bukan saya tidak percaya kepada pihak lain, tapi pernyataan dari para pemangku negeri Republik Indonesia merisaukan hati. Soal menerima saja setengah hati dengan pernyataan terus dirivisi sesuai dengan respon dunia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,Yasonna Laoly, mengaku pemerintah kewalahan menangani pengungsi Rohingya, imigran gelap Bangladesh dan sejumlah negara lainnya. Pasalnya pemerintah harus menanggung biaya tinggal mereka selama di Indonesia. Katanya membani APBN.

Jangan kawatir Pak Yasona. Berdasarkan  informasi dari Qatar News Agency, Pemerintahan Qatar berencana akan mengucurkan dana 50 juta dolar. Turki menyumbang Satu juta dolar. Kalau bapak bisa bantu jaga agar bantuan itu tidak dimakan tikus, itu sudah prestasi besar untuk Pak Yasona. Selebihnya Bapak fokus saja pada 10 juta tenaga dari negeri Cina akan masuk ke Indonesia.

Kalau pun bantuan itu tidak ada, di Aceh ada 6000 kampung, bila tiap kampung dititip satu orang  saja , maka Aceh membutuhkan 5000 lagi pengungsi Rohingya. Jangan terlalu risau bapak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Semoga saya tidak salah menulis jabatan yang terhormat dan untuk kehormatan manusia itu.

Realita di lapangan, bantuan terus berdatangan dari penduduk seluruh dunia, ormas-ormas Islam, komunitas masyarakat, komunitas profesi, klub-klub dan berbagai organisasi. Percayalah Rohingya telah membuat Indonesia dipuji dunia, pantaskah Yasona menumpang pada pujian tersebut, atau tidak malukah bicara soal HAM, atau HAM itu berlaku ketika korbannya non Muslim. Kesannya rasis, tapi itulah yang terjadi.

Espedisi kali ini, sangat berkesan dengan dua orang anak Rohingya, satu laki-laki satu perempuan, umur antara 4 – 5 tahun, kedua orang tua mereka telah meninggal, tanpa ada famili terdekat, mereka diselamatkan oleh pengungsi Rohingya lainnya. Mereka berdua dan kawan-kawannya harus mendapatkan pendidikan yang layak di Aceh, tanah ini juga untuk mereka yang terlunta-lunta akibat prilaku para teroris dibawah hidung para penggiat Hak Asasi Manusia. Insya Allah Es Krim dan Roti siap menambak kecerian mereka.  By teuku azhar ibrahim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun