Mohon tunggu...
Teuku Muhammad Arief
Teuku Muhammad Arief Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Teuku Mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refleksi Peristiwa G30S/PKI Melalui Lensa Teori Konflik Karl Max

7 Juli 2024   23:20 Diperbarui: 7 Juli 2024   23:45 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap sudut Museum Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution seolah berbisik, menceritakan kisah kelam yang mengoyak sejarah bangsa Indonesia. Saat kaki melangkah memasuki ruang demi ruang, ingatan akan peristiwa G30S PKI kembali menghantui. Tragedi yang terjadi pada malam 30 September 1965 itu bukan sekadar upaya kudeta, melainkan puncak dari konflik ideologi yang telah lama bergolak.

Karl Marx, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, mengembangkan teori konflik yang berfokus pada perjuangan kelas antara kelompok yang berkuasa dan yang tertindas dalam masyarakat. Menurut Marx, sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, di mana kelompok yang memiliki alat produksi (borjuis) terus berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya, sementara kelompok yang tertindas (proletar) berusaha untuk merebut alat produksi dan kekuasaan tersebut.

Dalam konteks G30S PKI, kita bisa melihat bagaimana teori Marx termanifestasi dalam dinamika politik Indonesia. PKI, sebagai representasi kelompok proletar, berupaya merebut kendali negara melalui aksi kekerasan. Sementara itu, kelompok militer yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Jenderal Abdul Haris Nasution, menjadi simbol borjuis atau kekuatan status quo yang ingin disingkirkan.

Teori konflik Karl Marx menjadi kacamata yang tepat untuk membedah peristiwa ini. Marx berpendapat bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi konflik akibat ketimpangan distribusi sumber daya. Dalam konteks G30S PKI, sumber daya yang diperebutkan adalah kekuasaan politik dan pengaruh ideologi.

PKI, sebagai representasi kelompok yang merasa terpinggirkan, berupaya merebut kendali negara melalui aksi kekerasan. Sementara itu, kelompok militer yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Jenderal Abdul Haris Nasution, menjadi simbol kekuatan status quo yang ingin disingkirkan.

Ruang Tamu museum ini menyimpan jejak-jejak konflik tersebut. Kursi-kursi antik yang pernah diduduki para tokoh nasional seolah menjadi saksi bisu pergolakan politik yang terjadi. Foto-foto yang terpajang di dinding menggambarkan wajah-wajah tegang para pemimpin negara, mencerminkan ketegangan yang melanda bangsa kala itu.

Memasuki Ruang Kerja, kita dihadapkan pada sosok Jenderal Nasution yang duduk di belakang meja kerjanya. Buku-buku karya beliau, termasuk "Pokok-Pokok Gerilya", menunjukkan bahwa konflik ideologi tak hanya terjadi di medan pertempuran, tapi juga di ranah pemikiran. Pertarungan gagasan antara komunisme dan Pancasila menjadi latar belakang yang tak bisa diabaikan dalam memahami peristiwa G30S PKI.

Ruang Senjata museum ini menyimpan alat-alat yang digunakan dalam konflik fisik. Senapan Lee Enfield yang pernah digunakan oleh anggota Cakrabirawa menjadi bukti nyata bahwa pertentangan ideologi telah berubah menjadi kekerasan yang mengerikan. Ini sejalan dengan pandangan Marx bahwa konflik kelas pada akhirnya akan mengarah pada revolusi kekerasan.

Namun, tragedi G30S PKI juga menunjukkan bahwa konflik tidak selalu berakhir seperti yang diramalkan Marx. Alih-alih menghasilkan kemenangan kelompok tertindas, peristiwa ini justru berujung pada penumpasan besar-besaran terhadap PKI dan simpatisannya. Ruang Ade Irma yang menyimpan kenangan putri Jenderal Nasution yang menjadi korban, mengingatkan kita pada harga mahal yang harus dibayar akibat konflik ideologi yang tak terkendali.

Teori konflik Marx dipilih sebagai pisau analisis karena kemampuannya menjelaskan dinamika sosial-politik yang melatarbelakangi peristiwa G30S PKI. Teori ini membantu kita memahami bahwa tragedi tersebut bukan sekadar insiden spontan, melainkan hasil dari akumulasi ketegangan dan pertentangan kepentingan yang telah lama terpendam dalam masyarakat Indonesia.

Hubungan antara teori konflik Marx dengan peristiwa G30S PKI terletak pada penjelasannya tentang bagaimana perbedaan ideologi dan kepentingan ekonomi dapat memicu konflik sosial yang hebat. PKI, yang mengklaim mewakili kepentingan kaum proletar, berusaha menggulingkan struktur kekuasaan yang dianggap memihak pada kelompok elite. Ini sejalan dengan konsep Marx tentang perjuangan kelas dan revolusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun