Mohon tunggu...
Mul Tazam
Mul Tazam Mohon Tunggu... -

Aku dilahirkan dari keluarga sederhana tinggal di dekat gunung. Sejak kecil aku selalu ingin melihat perbedaan karena perbedaan itu bagiku bisa menambah ilmu. "Belajar hingga nafas terakhir"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Shalawat Nabi Menggema di Bukit Geulutop

17 Januari 2014   11:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah papan penunjuk arah berukuran kecil tertulis “Geulutop” terpasang pada tiang kecil di pertengahan jalan itu. Aku dan Habibuddin terus mengikuti perintah itu. Sudah setengah perjalanan kami lalui jalan itu, belum ada terlihat satupun kendaraan yang melintasinya. Perlahan kendaraan roda dua CB 100 yang kami tumpangi berjalan perlahan, kerikil halus, besar dan debu beterbangan saat melintasi jalan setapak itu. Di sisi kanan dan kiri jalan, pepohonan kecil mulai tumbuh. Tanjakan besar dan sungai-sungai pada sepanjang jalan itu, membuat spedometer kendaraan yang saya supiri tidak melebihiangka 10km per jam. Dan sesekali, kendaraan yang kami tumpangi hampir jatuh. Habibuddin – teman saya yang duduk di belakang, terkadang harus turun dari kenderaan agar bisa melewati hambatan di sepajang jalan itu. Tak ada alternatif jalan lain yang bisa kami dilalui.

Gunung geulutop terletak di salah satu wilayah Kecamatan Tringgadeng, Kabupaten Pidie Jaya itu berjarak puluhan kilometer dari perkampungan warga. Gunung itu memiliki ketinggian ratusan meter dari permukaan laut. Tidak ada mengetahui penyebab nama geulutop disematkan untuk gunung itu. Semasa konflik melanda Aceh, para warga yang bermukim dekat dengan bukit itu tidak berani mendatangi kawasan tersebut.

Selasa pagi itu, puluhan masyarakat dari berbagai gampong yang berdekatan dengan daerah itu berkumpul bersama. Tua dan muda, laki dan wanita mereka sibuk saling bahu membahu menyembelih dan memasak daging lembu untuk acara khenduri Maulidurrasul. Puncak acaranya direncanakan dimulai pukul sepuluh tepat.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit, kendaraan yang kami tumpangi tiba pada gunung geulutop. Ratusan orang warga sudah mulai berkumpul di bukit itu. Beberapa kursi yang terbuat dari kayu besar yang sudah dibelah dua dijadikan sebagai tempat duduk untuk para tamu yang menghadiri acara tersebut. Tak jauh dari perkumpulan itu, jejeran kendaraan roda dua dari berbagai jenis parkirnya tertata rapi.

Sebuah balai berukuran sebesar 5 x 7 berdiri kokoh di atas tanah datar itu pertengahan perkumpulan warga itu, seluruh sisi balai dikelilingi oleh gunung-gunung yang sudah mulai gundul.Tak lagi bisa dilihat kayu-kayu besar. Kini gunung itu sudah dijadikan areal pertanian untuk warga sekitar. Coklat, durian dan sejumlah komoditas lainnya menjadi komoditas unggul mereka untuk bercocok tanam.

Di atas balai, sembilan belas anak laki-laki yang masih berusia remaja dengan kopiah hitam, berbaju koko putih dan kain sarung warna hijau terlihat mengangguk saat mendengarkan para Syehnya (gurunya, red) membaca barzanji. Sesekali kepala mereka mengangguk ke arah kanan dan sesekali ke arah kiri sambil mengikuti irama bacaan para syeh itu. Lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW terus mereka baca, dari awal hingga akhir.

Di sisi samping kanan dan kiri bawah balai, beberapa tenda biru sudah terpasang dengan bagus, sejumlah perempuan dan anak-anak terlihat di bawahnya. Ada yang masih berusia muda, dewasa dan sudah berusia lanjut (tua, red). Beberapa dari mereka sedang mengupas bawang untuk mempersiapkan makanan khenduri, selebihnya mendengar lantunan shalawat yang dibacakan.

Tiga meter dari tenda itu, sepuluh orang laki-laki sedang memasukkan kayu ke dalam tungku api untuk menanak nasi, ada juga yang memasukkan daging lembu yang sudah masak ke dalam kertas sambil diikat dan membungkus nasi dengan daun pisang. Di depan balai, beberapa kaum laki-laki yang tua sedang menyimak Shalawat Nabi yang dibacakan oleh para santri-santri di atas balai itu. “Wadz Kurun Nabiyusallu’alaihi Wassalimu Taslima,” kata para syeh sambil menghentikan bacaan barzanjinya.

Udara segar terus menyelimuti tempat kami. Matahari mulai redup ditutupi awan hitam. Ratusan masyarakat rombongan dari beberapa gampong berdatangan. Usai membaca shalawat kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, kami mulai menyantap khenduri yang telah disediakan.Pelepah daun pinang muda menjadi alas dan piring untuk menyantap makanan di hari perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW. (http://teukuaceh.blogspot.com/2014/01/shalawat-nabi-menggema-di-bukit-geulutop.html)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun