Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - hanya ibu rumah tangga biasa

Hobby sederhana: membaca, menulis, memasak, travelling

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada Serentak 2024, Prof. Henry Ingatkan DPR Patuhi Keputusan MK, Menganulir Berarti Melanggar Konstitusi!

25 Agustus 2024   07:55 Diperbarui: 25 Agustus 2024   07:57 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi panjat dan membobol pagar pintu masuk Gedung DPR dalam demonstrasi kawal keputusan MK, Kamis (22/8/2024).(KOMPAS.com/ANTONIUS ADITYA MAHENDRA)

Suhu politik Indonesia di tengah gonjang ganjing merivisi UU Pilkada menjelang Pilkada serentak pada 27 November 2024, memanas. Pengesahan RUU Pilkada oleh DPR RI dalam "operasi senyap" berhasil digagalkan oleh gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah.

Ratusan demonstran turun ke jalan untuk menolak upaya DPR yang dinilai ingin mengubah aturan main Pilkada di tengah jalan. Massa menilai revisi UU Pilkada yang diusulkan DPR bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI yang baru saja dikeluarkan.

Revisi UU Pilkada isinya mencakup beberapa poin krusial yang sempat memicu kontroversi, termasuk perubahan ambang batas pencalonan dan aturan batas usia minimum calon kepala daerah.

DPR RI melalui Alat Kelengkapan Dewan (AKD) Badan Legislasi (Baleg) semula akan mengesahkan revisi UU Pilkada dengan menganulir Keputusan Mahkamah Agung terkait pencalonan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilkada Serentak.

Dalam putusannya, MK memutuskan  ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen dari perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Namun, DPR RI berusaha revisi UU Pilkada dengan tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Itu artinya, DPR berusaha mengabaikan Keputusan MA tersebut.

MK juga memutuskan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah dari jalur independen atau perseorangan atau nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Selain itu, MK memastikan partai non seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur. Namun, dalam revisi itu, DPR tetap mempertahankan ambang batas lama untuk partai yang memiliki kursi di DPRD. Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk mempersulit pencalonan dari partai-partai kecil atau baru.

Poin yang cukup krusial dan menjadi sorotan dalam revisi UU Pilkada adalah mengenai batas usia minimum calon kepala daerah. Dalam revisi UU Pilkada, DPR menyatakan batas usia paling rendah calon Gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik.

Usulan ini bertentangan dengan putusan MK nomor 70/PPU-XXII/2024 yang menegaskan batas usia minimum calon Gubernur tetap 30 tahun dan calon wali kota/bupati tetap 25 tahun, namun dihitung saat ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon, bukan ketika dilantik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun