Bukan main pembahasan mengenai pro kontra PR untuk siswa. Tidak sedikit yang menyatakan setuju namun banyak pula yang tidak setuju. Meski sesungguhnya PR memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih memahami dan memperdalam materi pelajaran, namun bagi sebagian siswa, PR menjadi hal yang memberatkan. Bagi sebagian orang tua, PR bisa menjalin kedekatan antara anak dengan orang tua, bisa pula cukup merepotkan karena banyak orang tua yang tidak siap dengan tugas tambahan ini.
Namun, selaku mantan siswa, penulis berpendapat kalau PR itu cukup penting dan cukup bermanfaat. Manfaatnya bisa dirasakan oleh penulis saat dulu merasa kurang konsentrasi pada kegiatan belajar di kelas, maka PR bisa menjadi solusi untuk lebih memahami bahan ajar. Selain itu, PR memberi kesempatan pada penulis untuk mengembangkan diri dalam penalaran dan berpikir kritis. Kadang-kadang, dengan mengerjakan PR, mau tidak mau penulis jadi sering membaca dan semakin banyak bahan ajar yang lebih dipahami.
Sayangnya, saat tiba pada generasi anak dan cucu, PR yang dibawa ke rumah itu memang sangat luar biasa. Hampir semua mata pelajaran disertai dengan PR. Jika dibandingkan, porsi PR yang harus diselesaikan itu lebih banyak dibandingkan tugas yang dikerjkan di kelas. Belum lagi ditambah dengan berbagai hafalan yang berbatas waktu. Jelas ini membuat anak tertekan, terpaku pada PR, hingga tak sempat berbincang santai dengan anggota keluarga di rumah.
Bayangkan saja, selama di sekolah, anak duduk mengerjakan tugas di kelas. Di rumah pun dia terpaku pada buku PR. Tidak jarang sampai tertidur di meja belajar karena kelelahan. Nah, jika seperti ini, penulis menganggap ada yang salah dalam pemberian porsi PR bagi siswa.
Untuk memperbaiki keadaan, ada baiknya guru memberi porsi PR dengan takaran yang tidak terlalu berat namun berkualitas. Bisa juga memberi PR dengan membantu pekerjaan orang tua di rumah sebagai implementasi materi pembelajaran di sekolah. Lebih baik lagi jika PR yang diberikan itu bersinergi dengan mapel lain hingga menjadi pembelajaran lintas mapel.
Sebagai contoh, saat guru Bahasa Indonesia memberi PR tentang menulis teks drama, kaitkan dengan materi PPKn tentang ketaatan terhadap norma dan hukum, serta gabungkan dengan adab dan akhlak yang ada dalam mapel PAI. Dengan demikian, drama yang ditampilkan bisa mendulang nilai untuk Bahasa Indonesia, PPKn, serta PAI. Dalam Kurikulum Merdeka, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan. Tidak ada salahnya saat guru hendak memberi tugas, selalu berkoordinasi dengan guru mapel lain agar memberi manfaat berganda.
Siswa bisa saja diberi PR jika jam belajar di sekolah hanya setengah hari. Dengan catatan, PR diberikan dalam porsi wajar dan tidak memberatkan. Â Yang perlu diingat, tidak semua mapel harus disertai PR. Jika koordinasi dengan guru lain berlangsung lancar, PR bisa diberikan secara bergiliran. Minggu ini mapel tertentu yang memberi PR, minggu berikutnya mapel lain.
Namun, jika belajar di sekolah menghabiskan waktu hingga delapan jam bahkan lebih, sebaiknya hindari pemberian PR. Tuntaskan kegiatan belajar di sekolah melalui kegiatan belajar yang bermakna dan berkualitas. Dengan berbagai pendekatan, metode, dan teknik mengajar yang bervariasi, guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan tanpa harus dibebani dengan PR.
Insyaallah. Guru cerdas, pasti bisa!
Oleh: Teti Taryani, Guru SMKN 1 Tasikmalaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H