Mohon tunggu...
Teti Maryulina
Teti Maryulina Mohon Tunggu... Dosen - Part time Lecturer

Kota Bandung

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pamit untuk berpulang

20 Agustus 2023   09:13 Diperbarui: 20 Agustus 2023   09:54 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya, aku seperti dipanggil tuhan untuk menyaksikan sebuah kepergian. Sore itu, aku melihat matahari terbenam, sembari menatap langit & merasakan angin yg begitu sejuk, saat itu aku seperti diminta tuhan untuk menangis kencang, dan malamnya aku merengek ingin pulang. Mimpi pun menghadiahkan aku seperti berlari ke tempat yg begitu tinggi dengan seseorang yg dituakan. Hingga keesokan harinya, kabar duka itu datang memberitahuku, isak tangis seseorang tedengar jelas melalui telepon itu, sambil bergetar ia bicara, bahwasanya seseorang telah tiada. Sedikit termenung & tak percaya, hingga diri ini berucap sayu berkata: "Innalillahi, wainna ilahihi roji'un". Tapi aku tidak menangis. Aku yg cengeng ini seperti dilarang untuk meneteskan air mata, terlebih aku masih belum percaya bahwa dirinya telah berpulang pada yg maha kuasa.

Sontak aku seperti orang kebingungan. Apa yg harus aku lakukan ? hingga saat-saat itu komunikasi menjadi lebih sering dilakukan. Akhirnya, diri ini bergegas pulang, berharap masih dapat melihat jiwa yg telah tiada sebelum ditutup tanah basah bekas hujan seharian. Namun sayang, perjalanan ini sangat lambat, sungguh telat untuk kedua kalinya. Jarak yg selama ini ku rasa dekat ternyata bukan main jauhnya, kejar mengejar dengan waktu diiringi sesaknya dada kian menyadarkan aku akan moment kehilangan sebelumnya. 

Sepanjang perjalanan kemarin, dibalik kaca mobil yg kusam itu, ku pandangi langit yg mulai kemerahan warnanya, seolah berinteraksi dengan tuhan, aku bertanya "apa ini rencana terbaikmu?", gumamku seperti merasa bersalah karna membuat  rencana lain yg telah ku persiapkan sebelumnya dengan melibatkan tuhan didalamnya. Sungguh, aku ingin kehadirannya ada, namun siapa sangka ia telah dijemput tuhan untuk waktu yg lama.

Kilas balik sebelum aku pergi, ku temui dirinya yg merintih kesakitan, menangis tanpa bisa bicara. Aku hanya meminta doa sembari meneteskan air mata. Namun ia tersenyum setelah selesai berpamitan. Ternyata, itu pertemuan terakhir ku dengannya. Sebetulnya, tanda itu sempat ada. Beberapa hari setelah aku kembali, tuhan memberiku isyarat, namun tak habis fikir mengapa aku menyangkalnya. Padahal jelas aku menyadarinya. Hingga hari itu tiba, yg ku rasa hanyalah 

menyesali setiap kenangan yg belum tercipta. Ah, rasanya ingin bertukar posisi, tapi rencana tuhan memang sudah pasti, setiap yg akan berpulang sudah digariskan kapan waktunya untuk kembali.

Hari ini aku pergi lagi, berpisah untuk sementara waktu dengan orang-orang tersayangku, untuk kali ini pintaku sederhana pada tuhan, semoga ia memberikan kesempatan untuk menciptakan momen terindah terlebih dahulu padaku dan orang-orang kesayanganku, semoga aku dapat bernegosiasi tentang siapa yg lebih dulu pergi. Karna untuk yg ketiga kalinya, diri ini tak cukup kuat untuk menerimanya, kecuali tuhan bersedia menukar waktu serta orangnya, dan seseorang itu yg meminta hal demikian pada tuhan, dengan kata lain akulah orangnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun