Mohon tunggu...
Teten Sang Pemoela
Teten Sang Pemoela Mohon Tunggu... -

Ini adalah catatan-catatan kecil pemikiran saya. Semoga bermanfaat untuk semua dan bisa turut membangun peradaban yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melintasi Jalan Sepi, Distop Sama Perempuan-Perempuan Cantik Nan Seksi

3 Januari 2013   07:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:35 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

**** Pengalaman Pertama Lewat Kota Lama di Malam Hari

Rabu, 2 Januari 2013. Jarum jam menunjukkan pukul 21.35. Peserta latihan bubarkan diri. Mereka satu per satu bersalaman lalu berpamitan menuju rumahnya masing-masing.

Di luar cuaca gerimis. Langit tak henti-hentinya memercikan air dari sejak saya berangkat dari rumah pukul 19.15.

Saya nyalakan kendaraan motor saya lalu melaju ke arah Pasar Johar. Dari tempat latihan, Jalan Mpu Tantular, menuju Pasar Terbesar di Kota Semarang ini jaraknya sekitar seratus meteran.

Di sebelah kanan JalanMpu Tantular dari arah selatan berupa ruko-ruko, salah satunya lokasi di mana saya latihan. Ada pula bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebelah kiri deretan lapak-lapak semi permanen. Di belakang lapak sebuah suang yang lebar sekitar sepuluh meter.

Jalan Mpu Tantular merupakan bagian dari wilayah Kota Lama Semarang. Dulunya sekitar abad 19-20an, kawasan ini merupakan pusat perdagangan. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan wilayahnya, kawasan itu dibangun Benteng Vijhoek. Guna mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang dibenteng itu, maka dibuatlah jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai: Heeren Straat. Kini jalan itu dinasionalisasi menjadi Jalan Let Jen Soeprapto. Salah satu pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah De Zuider Por atau lebih dikenal warga dengan istilah Jembatan Berok (wikipedia.org).

Jalan Mpu Tantular kondisi jalannya rusak. Banyak jalan yang berlubang sehingga kubangan air menganga. Namun tidak terlalu dalam. Lebih parahnya lagi jalur di depan persis Pasar Johar. Jalan tersebut berlumpur. Mungkin lumpurnya berasal dari itu bekas marka jalan yang dibongkar. Sekarang, jalan tersebut lebih luas.Tahunya, sewaktu berangkat ke lokasi latihan.

Di pertigaan Jalan Mpu Tantular, Pasar Johar dan arah ke Dokter Cipto saya berubah pikiran. Saya putar kembali kendaraan menuju Jembatan Berok.Jembatan ini merupakan penghubung utama antara jalan Pemuda dan Jalan Mpu Tantular, dibangun tahun 1705. Kemudian nama Jembatan ini berubah menjadi Gouvernementsbrug. Nama ini didapat karena lokasinya berdekatan kantor Balai Kota, yang berlokasi di Gedung Keuangan Gedung Papak saat ini. Beberapa tahun kemudian, jembatan ini berganti nama dengan Societeitsbrug. Dinamai jembatan "Berok" karena orang pribumi tidak bisa melavalkan kata "BURG" yang dalam bahasa Belanda berati jembatan.

Suasana Jalan Mpu Tantular sepi. Jarang sekali kendaraan lalu lalang, hanya bisa diitung dengan jari.

Lapak-lapak jualan sudah pada tutup. Para pedagangnya sedang menikmati istirahat setelah seharian mengais rejeki untuk mencukupi.

Angkutan-angkutan kota pun tak ada lagi yang mengetem di sana. Siang hari, angkutan dari berbagai jurusan pada mangkal. Di sebalah timur jalan tersebut terdapat arena sambung ayam.

Laju kendaraan tidaklah cepat khawatir terpeleset karena kondisi jalan. Kira-kira sekitar 20-30 an. Di bagian kiri jalan, suara musik dangdut bertalu-talu memecah kegelapan malam. Saya lirik ke sumber suara, bangunan dari bahan triplek dan kayu-kayu itu tutupan dengan kain-kain.

Di jalur yang akan saya lintasi, perempuan-perempuan muda berkerumum. Jumlahnya sekitar belasan. Mereka bersepatu dengan busananya minim-minim. Cahaya remang-remang lampu merkuri menerangi wajah-wajah mereka yang penuh dengan balutan make up dan betis-betisnya yang terbuka. Jalan becek dan rintik-rintik hujan tak mereka hiraukan.

Mereka menghampiri laju kendaraan yang saya tumpangi. Dengan sigap, tiga di antara mereka menyetop kendaraan yang saya.

Saya berhenti. Mereka mendekat saya. Dekat sekali. Ketiga perempuan itu mengeluarkan aroma yang sumerbak. Wangi. Tapi tidak terlalu menusuk hidung. Wajah-wajahnya penuh balutan make up. Sehingga nampak putih.

Di sebelah kiri saya perempuan berambut lurus. Usianya sekitar 25 tahunan.Ia mengenakan busana rompi jeans dengan daleman kaus tipis yang terlihat buah dadanya. Bawahannya, ia mengenakan rok yang sangat minim dengan sepatu hak tinggi. Buah dadanya ia gesek-gesekan ke lengan kiri saya yang sedang memegang stang.

Satu lagi usianya lebih mudah. Sepertinya baru lulusan SMA. Perawakannya kecil. wajahnya pasaran.Rambutnya lurus sahu. Ia berdiri di tengah, di depan spakbor depan.

Sementara yang satunya menghampiri stang kanan tangan saya. Ia membungkuk. tangan kanannya ia sandarkan di stang kanan, sementara tangan kirinya ia morogoh kunci kontak. Kemudian, ia pun memutar kunci yang kala itu posisinya, “on” ke “of”.

Stang saya lepas.Bila lengan saya terus melintang memegang stang, perempuan yang ada di sebelah kiri itu mungkin tidak akan berhenti menggesek-gesek buah dadanya.

“Mas, karaokean yu!” ajak salah seorang perempuan yang berada di samping kiri saya. lalu ditimpali

“Ndak mba. Saya mau pulang,” jawab saya.

“Ke dalam yuk! Esek-esek juga ada lho mas,” goda perempuan yang ada di posisi tengah sembari matanya mengarahkan ke bagian kiri bangunan semi permanen.

Saya pun menyalakan kunci kontaknya lagi. namun perempuan yang berada di samping kanan itu memutar kembali ke posisi “of”.

Ketiga perempuan itu terus merayu-rayu agar mengikuti keinginan mereka.Saya pun berkali-kali menolak ajakannya.

Akhirnya, putus asa juga. Akhirnya dikala saya menyalakan lagi kunci kontak ia membiarkan saya melaju.

Namun baru sekitar tiga meteran. Saya sudah diberhentikan lagi. Tangan kanan saya ditarik. Ia berani mungkin karena jalan saya pelan. Saya pun mengerem kendaraan. Tangan kiri dia langsung menggerayangi kunci kontak dan mematikan mesin. Sementara tangan kanan memegang payung.

Saya hendak menyalakan kunci kontak. Diputar kembali kunci itu ke posisi mati. Lalu jemari tangan kanan saya diremas-remas dengan jemarinya yang lembut.

Saya terdiam. Ia membungkuk. Siku kanan ia sandarkan ke stang sembari memegang payung. Kepalanya ia arah ke muka saya. Wajahnya hitam manis. Hidungnya mancung. Bibirnya tipis. Rambutnya lurus, panjangnya sebahu. Usianya sekitar dua pulang, kurang lebih. “Ayo mas. Mampir dulu, yuk!” ajaknya dengan suara memelas.

“Ngapain mba, malam-malam begini kelayapan?” tanya saya sok polos. Beruntung pertanyaan itu tidak kedengaran sama dia. Ia balik tanya. “Apa?”

“Ndak-ndak. Ndak apa-apa,” saya jawab. Lalu menyalakan kunci kontak. Ia kemudian mematikan kembali.Ia merayu-rayu agar mengikuti keinginannya. Kejadian itu berulang-ulang hingga tiga kali.

“Ndak Mba, saya ditunggu istri saya di rumah,” jawab saya. Akhirnya, ia pun mempersilakan saya pergi.

Sekitar 4 meter dari motor saya berhenti, dua orang laki-laki pengendara motor Mega Pro, sama seperti saya. Ia layaknya gula tengah dirayu-rayu para perampuan seksi. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun