Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nusantara Merdeka, TKI Pulang Tanah Air kok Na'udzubillah?

17 Agustus 2010   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:57 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_229840" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption]   Hingar bingar pekik kemerdekaan bagi WNI yang ada di Taiwan, khususnya yang bekerja sebagai perawat dan atau Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) hanya sebagian saja yang bisa mendengarnya. Sebagian yang ingat akan hari dan peringatan tersebut jatuh pada hari ini; sebagian yang boleh punya/memegang hp dan bisa berinteraksi dengan dunia luar --salah satunya lewat situs jejaring sosial; sebagian yang menonton tv dan menyaksikan berita tentang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia disana.     Bagian yang lebih besar adalah mereka PLRT yang tidak tahu kalau hari ini adalah hari kemerdekaan dan peringatan proklamasi RI. Mereka bukan tidak mengakui RI sebagai bangsa dan negaranya, jika sama sekali tidak tahu hari Selasa ini adalah hari kemerdekaan negaranya. Mereka bukan tidak diajarkan di sekolah, mereka bukan tidak tahu sejarah, tapi mereka justru orang-orang yang dibatasi bahkan dikekang kemerdekaannya!     Salah satu contoh kecil, Mbak Supinah asal Kediri, orangnya lembut dan sangat bersopan-santun. Ketika ku bisikkan pekik merdeka dari balik jemuran ia langsung mengurut dada dan dengan polosnya memaki sendiri. "Gusti Allah, tobat! Piye iki lah aku ra tau saiki tujuh belas Agustus?"     "Mbak gak tahu hari ini tujuh belas Agustus?" Tanyaku meyakinkan.     "Iya, Li. Mbak ini boro-boro inget hari, yang diinget ya kerja dan kerja." Selanjutnya ia bergegas masuk ke rumah majikannya. Aku tahu larangan terbesar bagi Mbak Supinah dari majikannya adalah DILARANG BICARA DENGAN ORANG LAIN TERKECUALI KELUARGA MAJIKAN!     Tahukah apa larangan besar (tanpa awalan ter-) baginya? Yaitu DILARANG BERIBADAH. Tidak heran selama dua kali Ramadhan aku mengenalnya secara sembunyi-sembunyi dari balik jemuran ini Mbak Supinah selalu tidak berpuasa. Majikannya selalu memaksa dia makan dengan alasan tidak ingin direpotkan jika Mbak Supinah mati gara-gara tidak makan (puasa).     Benarkah hanya itu? Buktinya shalat juga dilarang. Berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia dibatasi. Uang gaji selalu di tahan dan sama sekali tidak memiliki pripacy untuk dirinya sebagai manusia.     Di saat yang lain meneriakkan pekik merdeka, apa yang dirasakan Mbak Supinah dan kaum buruh lainnya yang tersebar di Taiwan sekitar 130 ribu jiwa lebih itu? Disaat usia bangsa mencapai angka 65 kapan rakyat miskin yang sudah susah itu akan sejahtera? Merdeka dari mana jika HAM Mbak Supinah dan kaum buruh lainnya (mayoritas TKI di Taiwan DILARANG BERIBADAH!) dikekang dan terpenjara?     Merdeka bangsa kita, belum tentu merdeka untuk rakyatnya. Merdeka tanah air Indonesia belum tentu merdeka bagi warga negaranya. Kaum buruh khususnya yang ada di Taiwan saat ini masih tertindas. Ditindas majikan, ditindas agency, dan ditindas pemerintahan bangsa sendiri. Kata merdeka bagi kaum buruh tidak lebih sekedar pinjaman saja, agar bisa punya paspor dan berdokument saat menjadi kuli di negara tetangga.     Tidak hanya itu. Penjajahan terbesar yang sampai detik ini dirasakan kaum buruh adalah bertempat di Bandara Soekarno Hatta (SoeTa). Ya, disanalah sarang penjajahan itu. Tidak heran bila kepulangan (jika melalui Bandara SoeTa) ke tanah air bagaikan de javu yang terus menguntit. Pulang ke tanah air enggan naudzubillah --mengutip selorohan seorang BMI Taiwan-- bila harus mendarat di bandara SoeTa. Karena di sanalah markas serdadu pungli dan lubang tikus berdasi berjejal dan kelaparan mencari mangsa : TKI pulang dari luar negeri.     Merdeka? Cuih! --saking geramnya Mas Hutommo dengan permainan birokrasi dalam negeri-- Warga Negara Indonesia, khususnya kaum buruh migran --di negara manapun di tempatkan-- belum mengenal kata merdeka jika masih ada sistem kong-kaling-kong antara Depnakertrans, BNP2TKI, PJTKI, agency, dan majikan.     TKI masih ada dalam penjajahan dan ironisnya bangsa sendiri yang memicu penjajahan tersebut. Segarnya hawa kemerdekaan akan sedikit TKI rasakan jika biaya penempatan kerja yang selama ini berlebihan di papas tuntas! TKI akan merasakan makna kemerdekaan jika di bandara SoeTa bisa melenggang tanpa dikejar-kejar dan diarak-arak bagaikan pekerja haram di negeri Jiran. Hei! Bukankah Bandara SoeTa bandara bangsaku? Kenapa ada pendiskriminasian?   Alasan keamanan? Omong Kosong!     Apa dengan adanya travel dimana ongkosnya tiga kali lipat dari ongkos biasa; apa dengan adanya terminal tiga, empat dst. yang menyita juta kerinduan betahun-tahun TKI pada orang tercinta hingga berjam bahkan sampai berhari-hari; apa dengan adanya pungutan liar para sopir travel 'seikhlasnya' tapi paling sedikit Rp.500.000, atau ancaman diturunkan di tengah jalan; semua itu telah menjamin keamanan kaum TKI?     TKI sebagai WNI akan merasakan kemerdekaan itu nyata bukan sekedar pinjaman jika semua itu hilang dibersihkan.    

 

BENARKAH INDONESIA TELAH MERDEKA?

 

Merdekakah kita?

Saat Bhineka Tunggal Ika tak lagi menjadi kebanggaan.

Malah keanekaragaman SARA menjadi ajang permusuhan!

 

 

Merdekakah kita?

Saat kekayaan asli Indonesia

Begitu mudahnya dicuri dan diakui negara tetangga!

 

 

Merdekakah kita?

Saat Polisi pengayom rakyat

Menjadi momok menakutkan bertopeng pangkat!

 

 

Merdekakah kita?

Melihat pencuri ayam saja dihukum sedemikian lama

Sedang koruptor mendapat layanan penjara eksklusif bak hotel bintang lima

 

 

Merdekakah kita?

Saat ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil saja

Diperlukan uang pelancar puluhan juta!

 

 

Merdekakah kita?

Jika narkoba menjadi tren generasi muda

Untuk menenggelamkan siksa dalam dada

 

 

Merdekakah kita?

Saat pembuatan SIM, KTP, atau AKTA KELAHIRAN sesuai jalur begitulah rumit.

Namun dengan selembar ratusan ribu tak lagi sulit!

 

 

Merdekakah kita?

Saat kejahatan menjadi satu-satunya mata pencaharian

Agar nafas tak tercekat di tenggorokan karena kelaparan!

 

 

Merdekakah kita?

Saat uang partai lebih banyak digunakan untuk menanggap artis Ibukota

Dibandingkan menolong jutaan fakir menderita!

 

 

Merdekakah kita?

Saat calo-calo menjamur di semua bidang

Mencekik kaum lemah yang baru ingin berkembang!

 

 

Merdekah kita?

Melihat sarjana lebih bangga menjadi pengangguran

Dari pada bekerja mencari uang dengan jadi kuli bangunan

 

 

Merdekakah kita?

Jika hasil keringat TKI menjadi aset yang sangat besar

Namun tanggapan negara pada kami begitu hambar

 

 

Yah! Begitulah

 

 

Indonesia terjerembab dalam lembab penuh sebab

Melupakan desiran darah pahlawan terperangkap

 

 

Indonesia terjerat dalam pekat orang-orang kuat

Takkan usai meski laknat bosan diucap

 

 

Merdeka raya mungkin cuma mimpi

Takkan berarti tanpa kita yang mulai

 

 

Takdir Illahi hanya kias penghuni bumi

Garis insan tetap terpatri dalam hati dan langkah kaki

 

 

Indonesia tak berdosa

Hanya manusianya penuh noda

 

 

Coba saja kembali cerna

Dari bongkahan realita kerap kali kita lupakan rasa

 

 

Demi nafsu yang terus meraja sampai kapan?

Akankah selamanya?

 

 

 

 

Taichung city 17 Agustus 2010

Puisi karya TKI : minenk binti karso suyitno

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun