Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebanggan Berbuat Nekat Saat Sekolah

26 Mei 2011   16:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap orang pasti memiliki pengalaman seru saat berada di bangku sekolah. Kenangan yang tidak akan terlupa saat bermain bersama teman di bangku sekolah Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP), sampai di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMA) yang kata orang adalah masa-masa paling indah.

Kehidupan terus berjalan, perlahan tapi pasti waktu membawa kita meninggalkan masa-masa pertumbuhan itu. Menjadikan masa-masa di sekolah sebagai masa (kenangan) yang paling indah dalam seumur hidup dan bisa kita kenang saat ini. Beruntung dan bersyukur sebesar-besarnya bagi yang dapat mengecap pendidikan selama masa hidupnya. Karena kita pada saat ini adalah buah dari apa yang kita tanam saat belajar (sekolah) di masa lalu.

Ternyata ada hikmah tersendiri menyadari aku lahir dari keluarga kurang mampu. Saat orangtua tidak mampu membiayai sekolah, sebaliknya aku justru mati-matian ingin mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Bersyukur aku masih diberi kesempatan untuk bersekolah meski harus loncat-loncat di tiga tempat.

Sekolah Dasar aku selesaikan di Kotamadya Bandung. Di Kecamatan Batununggal itu masa kecilku dihabiskan. Senang sekali mengenangnya meski aku termasuk anak miskin, tapi berkesempatan bermain dan bersahabat dengan anak gedongan di Jalan Martanegara, Kaveleri dan perumahan sekitarnya. Aku ingat, hanya aku dan adikku yang bersekolah di SDN Kridhawinaya III, Maleer. Sementara teman-teman sepermainanku semua sekolah di SD Terang, sekolah swasta yang terkenal bonafit, tempat orang kaya menitipkan putra-putrinya belajar, lokasinya di perempatan Jalan Gatot Subroto dekat Bandung Super Mall sekarang.

Pak Endang Sukmawijaya, Kepala Sekolah SMU Muhammadiah saat itu --beliau juga yang menampungku tinggal di rumahnya yang luas selama beberapa tahun-- mengatakan, tepatnya menasehatiku bahwa sekolah dimana saja mau di swasta atau negeri, mau di desa atau kota, keduanya tidak dapat menjamin masa depan murid-muridnya akan menjadi lebih baik, karena yang menentukan adalah semangat belajar dan kualitas pembelajaran si murid itu sendiri.

Hal itu beliau sampaikan manakala aku bertanya kepadanya, apakah sekolah yang bagus dan mahal itu akan menjamin masa depan muridnya? Lalu bagaimana nasib sekolahku yang murah dan terpinggirkan?

Mungkin pertanyaan yang tampak mengada-ada karena keluar dari mulutku, seorang bocah kampung kumuh di Jalan Gumuruh, murid sekolah negeri yang kelas dan jam belajarnya diroling setiap minggu; masuk pagi dan masuk siang karena keterbatasan sarana dan prasarana. Tapi pertanyaan itu aku pikir wajar saja, pertanyaan yang timbul karena realita: perbedaan serta kesenjangan sosial.

Memang ada perasaan minder menyadari perbedaan kelas sosial di lingkungan masyarakatku semakin dalam. Mulai dari seragam, kelengkapan sarana dan prasarana Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sampai penampilan para gurunya, tiga hal itu jelas mencolok mata dan mengusik pikiranku. Seragam kami murid SDN Kridhawinaya III jauh lebih sederhana daripada seragam murid SD Terang yang sudah tidak berwarna merah putih lagi (seragam mereka corak seperti batik). Kelas di sekolah negeri dipakai bergantian pagi dan siang karena memang tempat yang sempit tidak bisa menampung anak didik sekaligus, meja dan kursi banyak yang cacat, atap sekolah pun banyak yang bocor. Sementara gedung SD swasta itu megah dan kokoh dengan lantai mengkilap serta berpintu jati.

Pelajaran olahraga di sekolah kami cukup bola volley di lapangan tempat upacara yang sempit dan atau tenis meja yang satu kakinya harus diganjal bangku karena kayunya sudah lapuk. Selama enam tahun aku belajar di sana sampai lulus, meja tenis itu belum juga diganti. Kalau ada pelajaran lari, Pak Muhtar guru honor olahraga kami cukup memerintahkan kami lari di sepanjang Jalan Gumuruh, menyusuri perkampungan sampai di ujung jalan yang berupa tanah pekuburan.

Di samping kuburan umum itu ada lapangan sepak bola, di lapangan tanah itu kami sering numpang berlatih olahraga. Jelas jauh berbeda dengan fasilitas yang dimiliki SD Terang; lapangan luas yang berlantai semen dalam satu lingkungan sekolah, berbagai jenis olahraga pun bisa dilakukan sekaligus di sana. Belum lagi ada ekstra renang, elit banget pokoknya. Aku sering mengintip kegiatan ekstrakulikuler temanku dari balik pagar tembok yang atasnya disambung pagar besi. Mewah.

Melihat para tenaga pendidiknya saja berpenampilan wah dan necis, naik turun kendaraan pribadi pula. Sementara guru wali kelasku Pak Dikdik Waryadi setiap harinya harus bergelantungan di gerbong kereta api ekonomi dari rumahnya di dekat stasiun kereta Rancaekek ke stasiun terdekat sekolah negeri di Kiaracondong. Turun dari kereta yang menjadi alat transportasi murah meriahnya itu beliau masih harus jalan kaki ke Maleer, sesekali jika ada uang beliau naik angkot sampai Pasar Binong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun