Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Oti dan Si Dukun (Powered by Indosat at Kampung Fiksi)

3 Desember 2011   14:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_146327" align="aligncenter" width="300" caption="Powered by Indosat"][/caption]

Oti dan Si Dukun

Oleh: Okti Li

Aku dan Oti bagai jempol dengan telunjuk, tak terpisah jauh. Saking sayangnya, Oti memberiku sebuah panggilan yang cukup keren, Si Dukun.

Masih teringat bagaimana binar wajah Oti saat pertama kali bertemu denganku secara sembunyi-sembunyi melalui Mbak Wida, arek Malang yang bekerja di lantai bawah rumah majikannya. Aku dicium sayang dan dibelai-belainya. Aku bagaikan bayi merah yang sangat dilindungi dari goresan, apalagi bantingan. Aku sangat dimanjakannya. Tapi entah kenapa Oti selalu menyembunyikan keberadaanku terutama dari keluarga majikannya.

Suatu hari, Oti terburu-buru membungkusku dengan kantung plastik dan menaruhku bersama tumpukkan kresek di balik kulkas dapur. Tak seperti biasanya Oti meninggalkanku. Kenapa ya?

“Kalau aku menemukannya, tak segan-segan aku akan merampasnya!” tiba-tiba laki-laki yang dipanggil sienseng[1] oleh Oti masuk diiringi istrinya yang cantik. Kepada wanita ini Oti memanggilnya thai-thai[2]. Aku melihat Oti hanya mengkeret diam. Ketakutan.

"Ayo kita geledah," perintahnya disusul dengan anggukan sang istri.

“Kalau ketemu, jangan diberikan sampai dia pulang ke Indonesia!” timpal thai-thai tak kalah ketus. Oti hanya diam, jemarinya saling meremas, menandakan betapa dirinya sedang cemas.

Dari celah pintu yang terbuka aku memperhatikan suami istri itu menggeledah kamar Oti yang super mini. Dalam diam penuh ketakutan bersama tumpukan plastik di balik kulkas aku hanya bisa memendam kepenasaran, apa yang mereka cari di kamar Oti?

"Kok tidak ada ya? Padahal melihat gelagat dan tingkah lakunya yang sering terdengar bicara sendiri serta berlama-lama di kamar mandi aku yakin Oti sudah melanggar aturan kita, Ma."

"Iya. Heran kok ya tidak ada? Padahal seluruh kamar sudah kita periksa. Pakaian yang dikenakannya juga tak bersaku. Seharusnya dia meninggalkannya."

Sejak itu aku tahu kenapa Oti menyembunyikan keberadaanku. Bahkan Oti lebih berhati-hati lagi, hanya menemuiku malam hari saja saat semua anak dan majikan tidur atau saat majikannya keluar rumah.

***

Bekerja di luar negeri tidak seenak perkiraan orang. Terlebih Oti yang hanya seorang buruh migran di Taiwan, justru lebih banyak kesulitan daripada kemudahan. Majikan Oti memberikan sederet larangan untuk pembantunya. Melarang Oti bicara dengan sesama pekerja asal Indonesia, melarang ibadah sholat serta puasa, termasuk melarang Oti menggunakan ponsel.

“Kata Mbak Wida sih, pintar-pintarnya kita saja, Kun. Ponsel untuk komunikasi dengan keluarga dan teman kan penting. Dan aku berpikiran seperti itu. Apalagi aku suka menulis. Tapi keadaanku yang serba gak mungkin membuatku hanya diam dan berharap. Selama ini aku hanya menulis di kertas-kertas yang berceceran, yang baca juga cuma Mbak Wida,” suatu malam, sambil mengelus dan membelaiku setelah selesai menulis sebuah cerpen, Oti bercerita pelan-pelan.

“Tapi sekarang aku bersyukur. Karena bantuan Mbak Wida yang diperbolehkan majikannya memakai laptop itu, aku jadi tahu tulisanku bisa dimuat di internet. Bisa menyimpan segala tulisanku di sana, dikomentari dan dikritik pembaca. Asyik kan, Kun? Aku mau melakukannya meski harus keluar uang lebih dan sembunyi-sembunyi dari majikan,” lanjut Oti.

Oh, rupanya karena itu kenapa dulu Mbak Wida ngotot mencariku di konter Taiwan Mobile di Pasar Hou Gang. “Pokoknya yang ada feature notesnya, internetnya, bahannya kuat, dan kualitasnya bagus.” Pinta Mbak Wida tegas.

Penjaga kontersampai geleng-geleng kepala mendengar permintaan Mbak Wida yang super detail kala itu. Untung Mba Wida sudah fasih bahasa Mandarin. Hingga akhirnya, penjaga konter mengerti dan mengeluarkanku.

“Kamu bantu aku untuk menuliskan ide-ide dalam kepalaku, ya?” Oti mengecupku mesra. Sambil berbaring, tangannya tak henti-henti terus mengetik.

“Aku tak ingin selamanya jadi pembantu, Kun. Pulang kampung nanti aku ingin punya bekal,” lanjut Oti sambil menerawang. Menatap langit-langit kamar di apartemen majikan. Sampai Oti akhirnya terlelap, dalam bunga tidurnya hanya ada kegiatan menulis dan menulis.

***

Aku salut dengan semangat serta kegigihan Oti untuk terus belajar dan berkarya. Situs jejaring sosial yang sedang membuming menjadi batu loncatannya meraih asa. Jika pernah mendengar seorang pengarang dengan hanya menggunakan satu jempol dalam membuat naskahnya, dialah Oti. Dan aku yakin tak ada lainnya. Bukan magic, mimpi atau sulap, atau gaya bahasa yang memperindah kalimat. Ini nyata. Realita dari keterbatasan dan kekurangan Oti.

Kondisi kehidupan warga Taiwan pada umumnya yang tingkat disiplinnya sangat tinggi membuat Oti hampir tak memiliki waktu luang. Bagi sebagian besar orang Taiwan, waktu adalah uang dan karenanya Oti yang telah digaji seharusnya bekerja dan bekerja. Bukankah Oti dibayar memang untuk bekerja? Jadi jika melihat Oti santai sebentar saja, apalagi tahu Oti memiliki kegiatan lain di luar pekerjaan yang dibebankan, mereka seolah kebakaran jenggot. Merasa mengalami kerugian yang sangat besar. Tak peduli Oti juga manusia perlu waktu istirahat, ibadah serta refreshing termasuk melakoni minat serta keinginannya menulis.

Majikan membebani hari-hari Oti dengan pekerjaan seabrek-abrek tak pernah henti. Tapi semua itu sedikit pun tidak membuat semangat menulis Oti padam. Justru keterbatasan itu telah mendidik Oti menjadi pekerja keras. Merasakan sendiri bagaimana berdarah-darahnya menjadi penulis dengan waktu dan prasarana yang minim.

Solusi yang Oti ambil, ya sambil bekerja sambil menulis, tentunya tanpa sepengetahuan majikan. Oti mencuri-curi waktu untuk menulis apa saja di sela-sela pekerjaan saat idenya datang. Keberadaanku sangat berharga buat Oti. Oti terus menulis dan menulis, selagi dia bisa.

Aku terkadang sering iba melihat Si Jempol sampai memerah dan bengkak karena dalam sehari Oti mengetik bisa berjam-jam lamanya. Tapi Oti tak peduli. Ia terus mengetik, toh pekerjaan yang itu-itu saja tak akan ada hentinya. Meski sudah selesai, sesuai permintaan majikan Oti harus terus mengerjakannya lagi dan lagi. Sementara aku tahu sebagaimana Oti pernah cerita padaku kalau ide tulisan yang datang belum tentu akan datang lagi di waktu lain.

“Nanti lama-lama juga terbiasa. Kamu tenang saja, Kun. Malah aku senang, berjasa untuk Oti dalam mencapai cita-citanya. Walau jasaku tak sebesar jasamu, Kun.” Jempol mencoba mengusir kekhawatiranku. Kami diam-diam ngobrol setelah memastikan Oti benar-benar terlelap saat aku masih dalam genggamannya.

“Kita sama-sama dibutuhkan Oti, Pol. Kerjasama kita itu yang bisa membuat Oti mampu menggapai pencapaiannya,” ucapku mencoba menimbangi kebijaksanaan Jempol.

Begitulah, aku dan Jempol semakin lama semakin terbiasa dengan ritme waktu menulis Oti. Kami semakin giat bekerja sama. Hampir semua orang tak percaya ketika karya-karya Oti keluar dan dengan jujur Oti bilang semua tulisan-tulisannya terlahir dengan penuh perjuangan. Ada yang bilang impossible, ada yang menertawakan mengira Oti gila, ada pula yang mengejek.

"Udah berapa kali kamu ganti keypad ponsel? Jempolmu itu apa gak hangus? Menulis di ponsel pasti jarimu keriting, kamu udah beli alat rebonding belum?"

Masih banyak cemoohan yang lebih pedas dari itu, tapi Oti hanya diam. Aku dan Jempol pun hanya bisa berpelukan erat saat Oti menggenggamku kuat-kuat.

“Tak apa mereka tak percaya kita, ya?” ujar Oti dengan senyum manisnya. “Habis mau gimana lagi? Semua perkataan mereka benar. Tapi untunglah kamu Si Dukunku yang ber-keypad awet. Keypad-mu stainless seperti chasing. Jika tidak, aku yakin kita sudah berpuluh-puluh kali ganti keypad karena rusak. Meski telah melahirkan ribuan lembar naskah, kamu belum pernah rusak sekalipun. Makasih ya, Kun. Kamu teramat berjasa buatku.” Rasanya melambung diri ini sekian tingginya dipuji-puji Oti.

“Benar, Kun,” Jempol berbisik lagi, menimpali. “Pertama kalinya aku juga memang ‘hangus’, kulit dan kukuku bahkan sempat bengkak dan berdarah. Mungkin karena keseringan dipakai Oti untuk mengetik sekian lama sementara aku belum terbiasa. Tapi kini, aku sudah kebal dipakai ngetik terus. Paling banter cuma penyok doang. Habis itu biasa aja lagi. Hihihi…” cekikik Jempol disusul jari-jari lainnya.

“Sebenarnya kami juga ikut keriting, lho!” Telunjuk menyela diantara riuhnya tawa.

“Ya, karena joystick-mu yang sudah mulai eror itu, Kun” ujar Ibu Jari menambahkan penuh kelembutan.

“Sekarang cara kerjamu tak lagi setepat dulu yang tepat memilih dalam sekali tekan, kan? Sekarang harus dibantu oleh jari lain. Saat Oti menggunakan tanda baca joystick-muharus ditekan atau bergeser secara khusus supaya tepat bisa memilih tanda baca mana yang hendak dipakai.” Kelingking menambahkan sambil mengerling pada Jari manis yang tak pernah jauh dari Jari Tengah.

“Kata lainnya, kita ini bersama-sama mulai dari Telunjuk, Jari Tengah, Jari Manis dan Kelingking pun pada akhirnya bekerja sama untuk membantu demi terlahirnya tulisan terbaik Oti.”

***

"Bagaimana mungkin lewat ponsel bisa membuat novel dan ikut memenangkan berbagai lomba?" Pertanyaan seorang peserta workshop kepenulisan siang itu seakan menantang Oti yang tengah duduk manis didampingi para penulis senior ternama ibu kota.

Pertanyaan yang sudah sering aku dengar saat Oti jadi pembicara di group-group kepenulisan di dunia maya. Selalu dan selalu pertanyaan itu yang dilontarkan teman-temannya. Khususnya mereka yang tidak percaya saat Oti bilang kalau novel, kumcer, kisah antologi dan tulisan-tulisan yang telah memenangkan hadiah berupa laptop, Blackberry, CDMA, uang tunai, buku dan sebagainya semua itu Oti buat melalui ponsel.

“Terimakasih atas pertanyaannya,” senyum Oti memancar menyapa seluruh peserta workshop yang pertama kali Oti hadiri sepulangnya di tanah air.

“Sudah saya jelaskan, saya menulis di feature notes ponsel,” nadanya datar sambil mengeluarkan aku dari saku tasnya. Lalu sambil mengangkatku tinggi-tinggi, Oti melanjutkan pembicaraannya.

”Tentu saja Si Dukun yang telah menemani saya hampir lima tahun berjuang untuk bisa melahirkan berbagai tulisan ini tidak mempunyai fasilitas Microsof Words. Karenanya, waktu tidur malam hari lebih banyak saya pakai begadang, yaitu untuk memindahkan tulisan di notes Si Dukun ini ke komputer teman saya yang berada di lantai bawah. Kamar Mba Wida tepat di bawah lantai kamar saya. Setelah dipindah lewat bluetooth, tulisan yang diterima Mba Wida berformat txt atau notepad itu kemudian di-copy paste lagi ke Microsoft Words. Dia otak-atik sesuai persyaratan naskah, membantu mengirimkan kepada panitia lomba, jadi deh! Terus seperti itu sistem kerja menulis saya selagi berada di negara orang.”

Semua yang hadir di ruangan full AC itu tampak diam, terpana dengan penjelasan Oti.

"Wah, kok ribet amat, Mbak. Pekerjaan jadi dobel, dong!" seorang laki-laki muda berambut gondrong tiba-tiba berkomentar setelah mendengar bagaimana penjelasan Oti.

“Yah, sejak awal saya tahu kalau tulisan yang saya buat itu harus berpindah-pindah format dan itu membuatnya ribet. Tapi ingat teman-teman, dari awal juga sudah saya katakan kalau pekerjaan saya sebagai buruh migran menumpuk dan tak memungkinkan membuka komputer untuk menulis. Kalau saya bisa bebas pakai komputer mah atuh gak mungkin saya juga mengorbankan jempol kanan saya ini sampai hangus. Hehehe…”

Keheningan di ruangan kini pecah sudah. Hadirin peserta workshop kepenulisan riuh bergemuruh. Tersenyum simpul medengar kelucuan yang Oti sampaikan.

“Meski terkesan ribet dan bekerja dua kali saya tetap mencuri-curi waktu untuk tetap bisa munulis di notes ponsel. Saat menanti angkutan umum dan dalam kendaraan, saya menulis. Di sela waktu senggang merawat pasien jompo, saya tetap menulis. Di kamar mandi, saat mengantri beli makan siang, saat menunggu bubaran les atau sekolah anak majikan, sambil menemani Akong[3] atau Ama[4] terapi saya berusaha juga menulis. Pokoknya setiap ada kesempatan daripada bengong saya tetap menulis. Walaupun cuma satu kalimat. Bukankah itu lebih baik daripada menunggu waktu untuk bisa membuka komputer sementara saya tahu hal itu tak mungkin untuk saya lakukan selagi masih ikut kerja di rumah orang?”

Banyak orang mengangguk dan berdecak. Kini, bukan aku saja yang merasa salut atas perjuangan Oti untuk bisa menulis, tapi juga mereka.

“Kalau saya tak memaksakan menulis di ponsel, saya yakin sampai sekarang karya-karya saya itu tak akan terlahir. Jadi teman, jika saya saja yang serba kekurangan masih memaksakan menulis, lalu alasan apalagi untuk teman-teman semunya yang masih ogah-ogahan melakukannya? Bukankah kebebasan dan fasilitas teman-teman saat ini lebih lengkap dibanding saya dulu? Tidakkah apa yang saya alami ini menginspirasi teman-teman untuk segera menulis selagi bisa sekarang juga?”

Puas. Aku bisa melihat rasa itu terpantul dari setiap wajah-wajah yang mengikuti workshop kepenulisan, termasuk panitia penyelengara acara. Tepuk tangan membahana memberikan aplaus kepada Oti yang baru saja menjadi pembicara di workshop kepenulisan.

Aku ikut senang dan semakin hormat kepada Oti. Meski Oti telah mempunyai beberapa komputer dan ponsel lainnya, ia tetap masih menulis dengan memanfaatkan fasilitas notesku. Aku tetap dipegangnya erat dan dibawa serta kemanapun pergi.

“Ayo kita pulang, Kun,” ajak Oti setelah semuanya selesai. Aku tetap dipeganggnya dengan bangga hingga sampai di stasiun kereta, menuju kampung Oti.

“Istirahat dulu ah,” Oti memasukanku ke dalam saku jaketnya.

Oh, tidak! Kenapa aku ditaruhnya sembarangan? Apa Oti lupa, ini di Indonesia, bukan lagi di Taiwan yang terjamin keamanannya meski dalam kendaraan umum sekalipun?

Kecemasanku semakin meninggi manakala kereta yang Oti tumpangi semakin kencang melaju dan Oti yang kelelahan mulai memejamkan matanya.

“Oti, pindahkan aku ke dalam tasmu, atau aku akan hilang diambil orang,” jeritku.

Tapi Oti tak mendengar dan mungkin tak akan lagi mendengarnya ketika tangan jahil dengan kecepatan luar biasa menarikku dari saku jaket Oti dan membawaku pergi menjauh. Entah kemana.[]

[1] Tuan

[2] Nyonya

[3] Kakek, umumnya pekerja wanita di Taiwan selain menjaga anak atau rumah tangga juga merawat kakek.

[4] Nenek, umumnya pekerja wanita di Taiwan selain menjaga anak atau rumah tangga juga merawat nenek.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun