Pola makan saya drastis berubah setelah menikah dan berkeluarga. Biasanya makan tidak teratur, banyak makan cemilan sambil jalan, yang itu juga dapat beli di jalan, pada akhirnya harus pelan-pelan tapi pasti berganti menjadi mempunyai jadwal makan yang tetap dan belajar masak serta memikirkan menu untuk disajikan setiap harinya.
[caption id="attachment_361268" align="aligncenter" width="300" caption="makan... makan... (dok. pribadi)"][/caption]
Kebiasaan sarapan cukup minum semacam sereal atau tou ciang (susu kedelai) di rumah majikan sekian tahun lamanya, menjadikan makan-makanan sarapan pagi hari dengan menu komplit itu bagai menghadapi sebuah pekerjaan berat saja. Boro-boro makan bersama, sendiri saja kadang ingat makan kadang tidak. Pas tidak ingat ya tidak makan, giliran ingat juga tetep saja malas makan. Glek!
Jika harus berkumpul dengan keluarga pun, menghormati para sesepuh dan atau tamu yang ada, untuk acara makan bersama biasanya piring yang saya ambil hanya akanpenuh dengan sayuran atau kerupuk. Paling suka minum soup yang masih agak panas, kaya orang yang doyan minum kopi gitu mungkin ya. Panas-panas diseruput.
Setelah menikah, otomatis semuanya itu berubah. Fenomena di kampung akan pepatah istri harus berbakti kepada suami sangat melekat kuat. Dan itu sangat diterapkan sebagai pendidikan keluarga besar, termasuk ke saya. Salah satunya ya mengurusi makan sang suami. Mau tidak mau, mama serta mama mertua menurunkan ilmu memasak serta bocoran makanan apa saja yang disukai anak lelaki satu-satunya yang kini jadi bapaknya anakku itu.
Sarapan, makan siang dan makan malam menjadi sebuah ritual makan bersama yang tidak lagi bisa dilewatkan. Lama-lama saya mulai terbiasa dengan ritme dan lajunya. Terlebih beberapa bulan setelah menikah, mama mertua tinggal bersama kami.
Aku harus lebih hati-hati dalam memasak dan memilih bahan masakan. Mama mertuaku mempunyai penyakit diabetes, darah tinggi dan menjalani pemulihan setelah dua kali terkena strooke. Tentu saja makanan yang dihidangkan tidak bisa sembarangan. Bisa saja aku masak seperti biasanya, sambal, lalap dan pete jengkol plus ikan asin kesukaan suami. Tapi apa tega melihat mama mertua menahan keinginan untuk mencicipi semua hidangan itu? Berbagai siasat aku lakukan, biar suami senang, begitu pula mama mertua. Yah, sebisa-bisa kudu bisa supaya bisa saja, hehe...
[caption id="attachment_361270" align="aligncenter" width="300" caption="Nasi timbel, biasa kami bawa jika akan makan bersama di kebun (Dok. pribadi)"]
![14292524941014811417](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14292524941014811417.jpg?t=o&v=300?t=o&v=770)
Hingga Tuhan memanggil mama mertua untuk selama—lamanya awal bulan Ramadhan lalu, aku tidak lagi memikirkan harus masak apa dan hidangan apa yang bisa dinikmati semua anggota keluarga karena pada dasarnya suamiku “apa saja masuk”. Suami teladan gitu lho! Heuheuy!
Kini, kebiasaan makan bareng orang tua tidak lagi kami jalani setelah mama mertua tiada. Ada juga mamaku sendiri tinggalnya cukup jauh sekitar setengah jam dengan kendaraan dari tempat tinggal kami. Jalan lainnya ya kami makan di rumah mama jika suami libur dan atau aku akan menitipkan anak di sana.
Aku jadi teringat dan terinspirasi oleh keluarga majikanku baik yang di Singapura, Hongkong, maupun yang di Taiwan. Setiap akhir pekan, mereka selalu berkunjung ke rumah orang tua untuk mempertemukan cucu-cucu kepada neneknya baik dari pihak ayah maupun ibu. Biasanya sore jelang malam, dan diantara waktu kebersamaannya itu terdapat acara makan malam bersama.
Sungguh! Sepertinya kekeluargaan dan rasa saling menyayangi antar sesama anggota keluarga besar sangat erat terjaga. Aku yang nota bene hanya sebagai pembantunya merasakan betapa senang bisa berkumpul dengan teman, sahabat dan keluarga majikan setiap jangka waktu tertentu. Dan hal itu aku terapkan pada keluarga kecilku setelah aku pulang kampung dan berkeluarga.
Bukan karena di rumah kami sudah tidak ada beras, jika hampir satu minggu sekali kami datang berkunjung ke rumahorang tua untuk nebeng makan rame-rame. Tetapi lebih kepada jalinan silaturahmi, kebersamaan dan keceriaan keluarga besar, serta mendekatkan anak atau cucu kepada sanak keluarga besar lainnya yang karena jarak sehingga intensitas pertemuan menjadi berkurang.
[caption id="attachment_361271" align="aligncenter" width="300" caption="Fahmi sedang (belajar) makan bersama :) (Dok. Pribadi)"]
![14292527091038087514](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14292527091038087514.jpg?t=o&v=300?t=o&v=770)
Saat makan bersama, obrolan mengalir begitu saja. Susah, senang, berita dari kaum kerabat lain, kabar dari tetangga,bahkan kabar dari teman sekolahku yang tidak aku dengar karena aku tinggal di lain kecamatan akhirnya semua sampai juga ke telingaku dengan baik. Sebuah perbincangan yang sulit untuk disampaikan jika saja suasananya tidak santai seperti saat tengah makan bersama.
Saat makan bersama, Fahmi anakku yang baru berusia 2 tahun pun berkeinginan kuat untuk belajar makan sendiri, manakala melihat sepupu dan saudara saudara lainnya yang lebih besar dari Fahmi sudah pada bisa makan sendiri, Fahmi pun biasanya tak mau kalah ingin punya jatah piring dan makanan untuknya. Dengan melihat sepupunya makan, dorongan untuk mengikuti dan “Fahmi juga bisa” sepertinya cukup kuat.
Saat itu juga aku bisa mengajarkan Fahmi dan sepupunya untuk belajar membiasakan mencuci tangan sebelum makan, berdoa bersama-sama baik sebelum maupun sesudah makan, dan mengenalkan jenis makanan yang kalau biasanya di rumah tidak ingin memakannya, tapi pas melihat sepupu memakannya, Fahmi pun jadi ikut-ikutan mencicipi.
Makan bersama (keluarga) sepertinya di lingkungan kita di Indonesia ini khususnya di kampungku belumlah terbiasa. Beda dengan tradisi bangsa Chinese yang menjadikan makan malam sebagai ajang berkumpulnya keluarga dan seremoni acara penting.
Makan dan makanan memang dua hal yang tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai mahluk hidup. Dari paparan saya di atas sudah jelas ya manfaat serta kelebihan dari ritual makan bersama (keluarga) itu khususnya untuk keluarga kecil saya apa saja. Tinggal kita pandai-pandai saja mengatur dan menjaganya, mana makanan yang baik untuk kesehatan, dan mana makanan yang sebaiknya mulai dihindari. Selagi sehat dan enak makan, ayo kita berbagi makanan dengan sesama. Jangan sampai merasakan sisa hidup dengan pendamping setumpuk list daftar makanan yang tidak boleh kita makan alias pantangan!
Tapi paling tidak, kalau soal urusan makan dan kuliner, kini para blogger Kompasiana juga sudah tidak akan tertinggal lagi. Komunitas KPK (Kompasianer Pengila Kuliner) sudah bisa menjadi ajang kita untuk bisa makan bersama (gratis lagi, hihi...)
[caption id="attachment_361272" align="aligncenter" width="300" caption="Komunitas Blogger Kompasiana (Kompasianer) Penggila Kuliner"]
![14292528421041007359](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14292528421041007359.jpg?t=o&v=300?t=o&v=770)
Ngetik cerita soal makan terus nih dari tadi, ngomong-ngomong apakah Kompasianer sudah pada makan siang? Suamiku pulang dari jumatan, aku malah belum memasak nasi buat makan siangnya nih, haha... kacau!
[caption id="attachment_361263" align="aligncenter" width="300" caption="makan siang kami tak jauh dari lalap dan sambal :) (Dok. Pribadi)"]
![1429251841588694396](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1429251841588694396.jpg?t=o&v=300?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI