Bulan Ramadan adalah bulan yang sangat spesial sehingga di dalamnya memiliki banyak kekhasan yang menjadikannya unik dan dirindukan.
Terlebih saat pandemi, banyak tradisi Ramadan yang tidak bisa maksimal dilakukan karena adanya pembatasan sosial berskala besar. Dengan adanya pembatasan ini otomatis berbagai kegiatan saat Ramadan ikut dibatasi.
Seperti tradisi yang khas jelang bulan Ramadan di tempat saya, Jawa Barat salah satunya adalah munggahan atau di beberapa wilayah Priangan lain menyebutnya dengan istilah papajar. Tradisi khas yang dilakukan seminggu atau dua minggu sebelum memasuki bulan Ramadan dengan acara makan bersama, sekaligus berkumpul dengan kerabat dan sahabat untuk bersilahturahmi, saling bermaaf-maafkan sebelum memasuki bulan suci Ramadan.
Tradisi itu selama dua kali Ramadan terakhir ini terpaksa harus ditiadakan karena adanya protokol kesehatan yang mengharuskan kita menjaga jarak, menghindari kerumunan dan dilarang kumpul-kumpul.
Begitu juga tradisi ngabuburit yang artinya menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. Saat pandemi, ngabuburit tidak bisa dilakukan sebebas sebelum covid-19 muncul di muka bumi. Khususnya bagi yang ngabuburitnya suka dilakukan di luar rumah.
Karena ngabuburit itu tidak hanya diisi dengan jalan-jalan di luar ketika menunggu waktu magrib tiba. Melakukan hal baik lainnya di rumah secara sendiri maupun bersama keluarga juga sudah termasuk ngabuburit, bukan? Mendengarkan kajian, membaca kitab suci, membaca buku, menjalankan hobi, apapun yang dilakukan sambil menunggu waktu berbuka tiba, itu termasuk ngabuburit.
Hanya jujur saja, tidak bisa dipungkiri kalau ngabuburitnya di luar rumah, rasanya makin seru, dan sangat berkesan. Keseruan dan kesannya ini yang sangat dirindukan manakala pandemi tiba, karena itu tadi, kita tidak bisa bebas melakukan kegiatan di luar rumah sejak adanya virus corona yang sangat mematikan itu.
Bagi saya sendiri, menjalankan dua kali bulan puasa saat pandemi, dengan segala pembatasannya itu mengingatkan saya pada masa ketika menjalankan ibadah puasa selama bekerja di luar negeri, tepatnya di Taiwan.
Ya, kondisi berpuasa dengan aturan ketat, maksudnya tidak bisa bebas keluar rumah, tidak bisa bebas bercanda bercengkrama dengan teman dan tetangga seperti saat pandemi sekarang ini, itu semua mengingatkan saya dengan kondisi menjalankan puasa ketika sedang merantau jadi kuli di luar negeri.
Meski majikan terbilang cukup baik, mempersilakan saya menjalankan ibadah puasa, namun tidak dengan keluarga besarnya. Situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang mayoritas non Muslim pun jauh dari kata mendukung.