Kartini Era Pandemi, Harus Hadirkan Bahagia untuk Keluarga Saat Menyusui
Kalau gak ingat bayi ini sangat susah payah saya kandung dan lahirkan rasanya ingin meremasnya saja, meluapkan emosi yang sudah memuncak manakala nyinyiran itu terdengar lagi berulang kali. Sebagai mama menyusui (Mamsi) kala itu, saya juga manusia.
Punya batas kesabaran dan rasa kesal saat tuduhan demi tuduhan, bertubi-tubi memojokkan saya. Terlebih sumber cerita menyakitkan hati itu bukan dari orang jauh, melainkan dari keluarga inti.
Saya tahu tidak sempurna. Khayalan saya ketika mengetahui positif hamil setelah sekian lama menunggu dari beberapa bulan setelah melangsungkan pernikahan untuk bisa jadi seorang ibu yang bisa memberikan air susu ibu kepada buah hati pupus sudah.
Saya tidak tahu pasti kenapa Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk mengandung, melahirkan dan memiliki seorang anak lelaki yang kami beri nama Fahmi, namun tidak menyertakan air susu ibu yang melimpah, sebagaimana para ibu menyusui lainnya.
Hal itu, sejak keluar dari RSUD Cianjur setelah melahirkan, membuat Fahmi selalu rewel, nangis berkepanjangan karena tidak merasa cukup kenyang setelah menyusu. Bukan kebahagiaan yang saya rasakan dengan kehadiran buah hati pertama ini.
Melainkan rasa bersalah, penyesalan, dan kemarahan yang entah bagaimana bisa saya lampiaskan manakala omongan dari keluarga terdengar justru memojokkan saya. Saya bisa apa?
Saya sering menangis secara diam-diam menjeritkan segala keluh kesah. Saya merasa tidak berguna menjadi seorang ibu, seorang Mamsi, jika karena air susu yang saya miliki tidak mencukupi kebutuhan Fahmi sehari-hari.
Sehari-dua hari saya masih bisa menjaga emosi. Tapi semakin kesini saya merasa tidak kuat lagi. Apalagi keluarga mengaitkan dengan kondisi ekonomi kami dimana saat itu suami hanya mengandalkan upah sebagai honorer di sekolah yang besarnya setiap bulan hanya seratus lima puluh ribu rupiah. Cukup buat apa?
Saya hampir tidak kuat menanggung penderitaan jadi Mamsi yang gagal. Detik demi detik yang saya lalui bersama buah hati tercinta tidak bisa saya nikmati sebagaimana seharusnya.
Masa golden age seorang anak pertama harus saya lalui dengan kemarahan yang terpendam, entah bagaimana meluapkannya selain dengan merutuki diri?