Aksi Inspiratif: Beauty Inside Happy Outside
Saya sangat meyakini kalau sebaik-baik manusia adalah yang menjadi nomor satu dalam berbuat kebaikan. Tidak peduli ada yang melihat atau tidak. Tidak masalah apa yang dikerjakan tugas saya atau bukan. Selama itu bermanfaat (baik awal maupun akhir) meski kecil dan sepele, lakukan saja dengan ikhlas dan tanpa pamrih.
Ada paku di jalan, segera ambil dan singkirkan supaya tidak melukai orang dan atau membuat kempes kendaraan yang lewat. Ada sampah bekas orang di meja perpustakaan, ambil dan tolong buangkan ke tempatnya tanpa harus berkilah sampah orang kok ngapain saya yang buang? Saat ada orang perlu pertolongan, jika kita mampu segera beri bantuan semampunya, tanpa harus memikirkan nanti ada imbalannya gak yah?
Aksi atau kisah inspiratif tidak harus wah, buming dan atau jadi viral. Yang penting apa yang dikerjakan bisa berujung kepada kebaikan bersama. Teori saja tidak cukup dan itu tidak akan menjadi teladan masyarakat. Indonesia saat ini memerlukan sumber daya manusia yang cekatan, ringan tangan dan mau bekerja keras meski lingkungannya menolak dan bahkan tidak memberikan dukungan.
Tinggal di pedesaan tidak lantas membuat saya malas gerak atau ogah beraktivitas. Pedesaan juga kalau dicermati lebih dalam, memerlukan tangan-tangan terampil dan sentuhan-sentuhan orang-orang yang berpikiran jauh ke depan. Terbiasa belasan tahun tinggal di luar negeri ikut dengan majikan yang punya kedisiplinan tinggi justru saat kembali ke desa saya tergerak untuk menularkan hal-hal baik yang bagi orang-orang di negara maju hal-hal itu sudah menjadi kebiasaan. Buang sampah misalnya.
Saat mengetahui tetangga sekitar membuang sampah asal lempar ke sungai di pinggir rumah, saya berdiskusi dengan keluarga jika hal itu tidak benar. Diskusi dan informasi kepada warga kampung saja ternyata tidak mempan, karena selain kebiasaan itu sudah turun-temurun dan menjadi kebiasaan, juga di kampung saya memang tidak ada tempat khusus membuang sampah. Sekarang di pasar yang buka seminggu dua kali memang ada bak penampung sampah dari Pemerintah Kabupaten, tapi jaraknya cukup jauh dari tempat kami tinggal. Warga tidak mau ambil pusing.
Baiklah, bilangin ke tetangga kalau buang sampah ke sungai --apalagi plastik-- itu sangat merugikan dan dampaknya tidak baik untuk alam sudah kelewat sering. Bicara ke RT setempat minta supaya ada himbauan agar warga tidak buang sampah ke sungai langsung juga sudah. Ngobrol ke aparat desa tapi sama sekali tidak ada tindak lanjutnya juga tidak membuat saya putus asa. Saat cuaca bagus, saya dan suami turun ke sungai, mengumpulkan sampah-sampah plastik, memilahnya dan membakar yang sudah terlanjur rusak di sekitar pembuangan.
Tetangga hanya menonton, acuh. Paling banter ada yang negur, ngapain, kok mau-maunya ngorek-ngorek sampah? Apa gak jijik? Saya jawab: Justru kami jijik karena rumah kami yang berada di samping sungai jadi pembuangan sampah warga kampung. Mereka lalu melengos.
Saat iklim sudah tidak bisa diprediksi, saat hutan jati dan mahoni di lereng bukit sudah gundul ditebangi, saya dan suami masih suka mungutin biji mahoni di pinggir jalan, membuatnya bumbung dan pembibitan lalu kami tanami lahan yang tidak seberapa luas oleh pohon-pohon pelindung itu. Ketika kemarau 2015 membuat air sumur tetangga kering kerontang, alhamdulillah kami masih bisa menadah air serapan di sumur tanah dari pepohonan salam dan lainnya yang merimbun di halaman.