Setiap ingin mengikuti acara yang digelar Kompasiana di Jakarta, aku harus mempersiapkan semuanya beberapa hari sebelumnya: menitipkan anak dan mempersiapkan segala keperluannya, lalu menginap di rumah orangtua untuk selanjutnya keesokan dini harinya berangkat menuju Jakarta. Begitu juga saat akan ikut Kompasiana Nangkring bareng Jakarta Monorel.
Kenapa harus berangkat dini hari? Karena aku tinggal di pelosok Kabupaten Cianjur yang berjarak 6 jam lebih menggunakan kendaraan untuk sampai di kota Jakarta. Selain itu, jalan menuju Jakarta dari Cianjur khususnya di daerah Puncak, Cisarua dan Ciawi Bogor setiap hari selalu macet.
Karena itu aku begitu antusias mengikuti acara Kompasiana Nangkring Bareng yang diadakan pada hari Sabtu, 24 Mei 2014 bertempat di Outback Steakhouse, Kuningan City, Jakarta. Acara yang digelar dengan tema “Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik?” ini mengupas tuntas seputar proyek pembangunan Jakarta Monorail yang sudah sekian lama digadang-gadangkan akan dibangun namun ternyata sampai sekarang belum selesai-selesai juga.
[caption id="attachment_310285" align="alignleft" width="300" caption="Searah jarum jam: MC, Kang Pepih, bersama penyiar radio dan Laksono Hari W, Editor Megapolitan Kompas.com"][/caption]
Pembangunan monorail ini diharapkan bisa mengurai permasalahan pokok kemacetan di Jakarta. Karena itu aku antusias menyimak bagaimana proses proyek ini berjalan, karena jika DKI Jakarta sukses menjalankan moda transportasi monorail ini dan kemacetan bisa berkurang, aku yakin, selanjutnya daerah penyangga DKI seperti Bodetabek dan Cianjur akan ikut merasakan dampaknya. Bahkan siapa tahu kedepannya bisa membangun monorail juga.
Sebelum acara dimulai ada sedikit "pemanasan" berupa beberapa pertanyaan seputar Kompasiana, dan acara Nangkring Bareng diajukan pembawa acara. Nasib baik memihakku saat ditanya apa tema acara Nangkring Bareng tersebut dengan lancar aku bisa menjawab. Terimakasih Kompasiana untuk kenang-kenangannya...
Setelah sesi pembuka yang dibawakan oleh Kang Pepih Nugraha dari Kompasiana dengan memberikan sepatah dua patah kata sebagai sambutan pada acara Kompasiana Nangkring bareng PT Jakarta Monorail, acara diskusi pun dimulai.
Dari paparan empat nara sumber yang terdiri dari Direktur Utama PT Jakarta Monorail (JM) Jhon Aryananda; Konsultan Bidang Infrastruktur (transportasi) dari Bappenas Lukas Hutagalung; Pengamat transportasi Bapak Dharmaningtyas; dan Pakar Komunikasi Politik Bapak Tjipta Lesmana dapat disimpulkan bahwa proyek Jakarta Monorail sampai sekarang ini belum juga bisa diresmikan karena tidak adanya rasa kepercayaan dari pihak-pihak terkait.
Proyek pembangunan monorel ini sesungguhnya sudah dimulai pada tahun 2004, di masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. Namun, proyek ini kemudian terkatung-katung dan sempat hendak dibatalkan pada akhir masa jabatan Gubernur Fauzi Bowo, demikian penjelasan Bapak John Aryananda. Sampai sekarang, masa kepemimpinan Gubernur Joko Widodo, masih belum ada pembangunan apa-apa, kecuali hanya tiang pancang yang sedang dibangun.
Padahal, proyek ini harus segera dimulai dan diselesaikan secepatnya karena semakin lama diselesaikan, akan semakin sulit terwujud dan akan semakin besar pula biayanya. Hal itu dikemukakan oleh Bapak Lukas Hutagalung, proyek yang pada awalnya ini diperkirakan menelan biaya Rp3 milyar, sekarang membengkak jadi Rp12 milyar.
Kompasiana Nangkring ini juga semakin seru dan ramai karena selain dimoderatori oleh Laksono Hari Wiwoho, Editor Megapolitan dari Kompas.com juga acara ini disiarkan secara live streaming oleh Koplak Yo Band (@Koplakyoband) yang digawangi oleh Kompasianer Babeh Helmi dan live broadcast oleh Radio Motion FM Jakarta.
Pendapat dari nara sumber yang lugas seperti Tjipta Lesmana membuat suasana terasa lebih hidup. Seandainya pemegang kekuasaan di DKI mau mengambil keputusan dan siap dengan segala resiko, sejak dulu monorel seharusnya sudah bisa berjalan. Dengan dibiarkan berlarut dan terkatung-katung justru proyek Jakarta Monorail ini makin sulit terwujud dan makin mahal biayanya. Demikian penjelasan pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana.
Menurutnya, jika Pemerintah DKI Jakarta memang menilai perlu adanya monorel, kerja sama pemerintah dengan pihak swasta (Kerjasama Pihak Swasta/KPS) yaitu PT. Jakarta Monorel harus segera diselesaikan agar pihak PT. Jakarta Monorel ini bisa segera membangun.
[caption id="attachment_310287" align="alignright" width="300" caption="Nara sumber: Pak Jhon, Pak Tjipta, Pak Dharmanintyas dan Pak Lukas"]
Lukas Hutagalung sendiri menyatakan, lambatnya penyelesaian perjanjian KPS itu karena Pemerintah terlalu lama diam, apa-apa merasa bisa dikerjakan sendiri. Jadi, ketika mau bekerja sama dengan swasta mereka bingung. Banyak hal yang tidak sepahamnya dan banyak pertimbangan.
Menurut Lukas, Pemerintah sebaiknya tidak perlu terlalu khawatir berlebihan karena KPS pun bertanggung jawab dan nantinya jika terjadi hal-hal lain masih bisa dinegosiasikan lagi. Dan pasti semakin kesini akan ada perkembangan kebijakan.
Jhon Aryananda selaku Direktur PT. Jakarta Monorail sendiri menduga persoalan ini sudah dipolitisasi. Hal ini tampak dari pernyataan keras Wakil Gubernur Basuki Cahaya Purnama atau biasa dipanggil Ahok terhadap PT Jakarta Monorail. Adanya tersiar kabar PT Adhi Karya akan menggantikan PT Jakarta Monorail memperkuat dugaan Jhon.
Tjipta Lesmana pun menduga hal yang sama. Saat nanti Ahok menjadi pelaksana tugas Gubernur (DKI Jakarta), PT Jakarta Monorail ada ke mungkinan akan mendapat keputusan terpahit, begitu seloroh Tjipta Lesmana yang disertai tawa para peserta Nangkring Bareng. Namun Tjipta sendiri tidak sepakat jika PT Adhi Karya akan menggantikan posisi PT Jakarta Monorail ini karena khawatir proyek ini akan bernasib seperti proyek Hambalang, yang dililit persoalan korupsi. Dalam pantauan Pak Tjipta, Ia lebih memilih PT Jakarta Monorel ini yang meneruskan proyek monorel.
Menurut keterangan Jhon, PT Jakarta Monorel memang sempat menerima notifikasi terminasi kontrak pada akhir masa jabatan Gubernur Fauzi Bowo. Namun terminasi itu urung dilakukan karena ternyata bukan hanya PT Jakarta Monorail yang telah melakukan wanprestasi, melainkan juga Pemerintah DKI.
“Jika perjanjian antara swasta (KPS) dibatalkan, Pemda DKI harus membayar Rp130 miliar kepada PT Adhi Karya dan Rp70 miliar kepada PT JM,” kata Jhon. "Dan Pemda DKI merasa keberatan akan hal itu."
Lukas membenarkan keterangan Jhon demikian. Jika pembatalan dengan PT Jakarta Monorail itu terjadi, maka lebih banyak ruginya. Karena itulah, Pemerintah Provinsi DKI urung memutus kontrak dengan PT Jakarta Monorail. Menurutnya, uang Rp200 miliar lebih baik digunakan untuk membangun hal daripada diberikan kepada PT Adhi Karya dan PT JM sebagai kompensasi pemutusan kontrak.
Adapun pendapat berbeda dikemukakan oleh pengamat transportasi Bapak Dharmaningtyas. Menurutnya, persoalan monorel Jakarta pada awalnya tidak ada unsur politisnya. Baru pada tahun belakangan ini saja cenderung politis. Mungkin menjelang Pemilu yang apa saja selalu dikaitkan dengan hajat besar negara itu.
Dharmaningtyas menilai proyek monorel ini sejak awal sudah tidak visibel, tetapi dipaksakan tetap berjalan. Buktinya pada tahun 2011, setelah ada kajian dari konsorsium yang akan mendanai, proyek ini dianggap tidak visibel.
Dharmaningtyas juga menilai proyek monorel tidak efektif untuk mengurangi kemacetan. Sebab, rute monorel berputar-putar di pusat kota. Jalur monorel sekarang ini adalah jalur makan siang, begitu istilahnya. Jadi, menurutnya tidak efektif.
Menurut Pak Dharmaningtyas transportasi akan efektif jika bisa menghubungkan kawasan asal perjalanan ke tujuan perjalanan. Misalnya dari Bogor ke Kuningan.
Hal ini dibantah oleh Jhon. Yang menegaskan bahwa menurutnya transportasi massal apa pun tidak ada yang efektif jika dilihat hanya sepotong-sepotong, hanya dari satu sisi.
Menurut Jhon, diperlukan integrasi dari satu moda transportasi dengan berbagai moda transportasi lainnya agar keberadaan setiap moda transportasi itu jadi efektif. Termasuk monorail ini Jhon optimis monorel akan efektif karena mempunyai delapan titik pertemuan dengan moda yang lain, yaitu dua titik dengan kereta komuter (KRL), 2 titik dengan MRT (mass rapid transit), dan 4 titik dengan jalur busway Transjakarta.
Dilihat dari situs resmi PT Jakarta Monorel proyek ini rencananya akan melayani dua rute. Rute pertama disebut jalur hijau, dari Kuningan-Gatot Subroto-Komdak-Gelora Bung Karno-Palmerah-Sudirman-Kuningan. Rute kedua dinamakan jalur biru dari Kampung Melayu-Menteng Dalam-Jalan Prof Satrio-Sudirman WTC-Tanah Abang-Tomang-Taman Anggrek.
[caption id="attachment_310288" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana Nangkring Bareng. Semua foto dokumentasi pribadi"]
Lalu apa perbedaan antara monorail dengan MRT?
Dibanding dengan MRT, jelas Jhon Aryananda, monorel mempunyai kelebihan. Monorel lebih murah dibanding MTR yang menelan biaya hampir 1 Triliun. Monorail juga fleksibel khususnya dalam belokan, dan tidak berisik seperti saat akan berhenti, karena memakai karet. Meski tidak lebih efisien. Monorel bisa jadi solusi yang paling tepat untuk kondisi Jakarta sekarang. Satu rangkaian kereta monorail bisa mengangkut sebanyak 600 ribu orang.
Senada dengan Jhon Aryananda, Tjipta Lesmana menilai monorel bisa mengurangi kemacetan di Jakarta. Namun, ia tidak yakin bisa menghilangkan kemacetan. Pak Tjipta menyatakan hadirnya berbagai moda transportasi umum hanya bisa mengurangi kemacetan, bukan menyelesaikan. Sepanjang mobil dan motor dibiarkan terus membanjiri Jakarta, apalagi ada wacana mobil murah dibiarkan begitu saja oleh pemerintah (pusat) maka kemacetan tidak akan bisa terselesaikan. Karenanya kedepannya hanya bisa berharap pemerintah pusat bisa menahan laju pertumbuhan kendaraan bermotor supaya kemacetan benar-benar bisa dikurangi.
Sekali lagi, pembangunan monorail yang saat ini pembangunan tiang pancangnya sudah mulai berjalan diharapkan bisa mengurai permasalahan pokok kemacetan di Jakarta. Jika DKI Jakarta sukses menjalankan moda transportasi monorail ini dan kemacetan bisa berkurang, aku yakin, selanjutnya daerah penyangga DKI seperti Bodetabek dan Cianjur akan ikut merasakan dampaknya.
Bahkan siapa tahu kedepannya daerah sekitar DKI Jakarta bisa membangun monorail juga. Jika demikian, aku tak perlu berangkat dari kampung dini hari untuk sampai di Jakarta hanya demi menghindari terjebak kemacetan. Semoga... (ol)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H