Sebuah keterlambatan yang mengakibatkan penyesalan seumur hidup. Demikian yang aku rasakan saat ini jika melihat anak semata wayangku sekujur tubuhnya dipenuhi bintik-bintik berwarna hitam. Seperti bekas gatal yang digaruk, menimbulkan bekas dan aku sebagai ibunya sangat merasa berdosa dengan semua itu.
Sebagai ibu muda yang masih belajar mengurus rumah tangga, belum banyak yang aku tahu tentang perkembangan bayi, dan seputarnya. Terlebih setelah ibu mertua telah tiada, ditambah ibuku sendiri tinggal cukup jauh dari tempat tinggalku saat ini, maka otomatis segala sesuatu aku hadapi sendiri. Suami memang banyak membantu. Tapi untuk urusan ibu rumah tangga dan urusan ibu-ibu pada khususnya, dia tidak pernah turut campur.
Saat anakku berusia setahun, dia terserang demam tinggi. Aku langsung membawanya ke bidan terdekat karena jika mau memeriksakan anak ke dokter, harus ke kota kabupaten dengan jarak tempuh dua jam perjalanan menggunakan kendaraan. Panasnya reda setelah aku memberikan obat yang diberikan bidan desa tersebut. Hati sedikit lega dan pikiran jadi tenang.
Dua hari kemudian, sekujur tubuh anakku terdapat bintik-bintik merah. Sesekali anakku menggaruknya tanda ia merasa gatal. Tetangga sebelah rumah yang juga mempunyai anak seumuran dengan anakku (tapi ia sudah berumur lanjut) memberitahukan kalau anak seperti itu sebaiknya ‘dicebor’ (disiram) ke Emak Paraji (istilah dukun beranak di kampung). Pengalamannya serta ibu-ibu lain juga berpesan yang sama. Jika tidak dicebor, maka panasnya tidak akan keluar.
Aku mengatakan iya kepada semua orang yang memberitahukan informasi tersebut. Meski saat ini jaman modern, aku tidak menolak semua keraifan lokal yang sudah turun temurun dilakukan seperti di kampungku itu. Terlebih jika masuk akal dan ada manfaatnya.
Saat bicara ke ibuku lewat telepon pun, ibuku menyarankan demikian. Setelah memeriksakan anak ke bidan, tidak ada salahnya membawanya ke Emak Paraji untuk dimandikan. Tapi aku yang saat itu melihat anakku sepertinya sudah lebih baik merasa tidak harus buru-buru membawanya.
Secara kebetulan, anak seumuran di dekat rumah juga terkena demam, dan beberapa hari di tubuhnya timbul bintik-bintik kemerah-merahan. Mereka lewat depan rumah, saat aku tanya jawabnya baru pulang dari rumah Emak Paraji, sudah ‘nyebor’ anak batitanya yang kena demam itu.
Dia menanyakan kabar tentang anakku. Ketika aku jawab baik-baik saja, namun tidak aku bawa ke Emak Paraji karena belum sempat, dia sangat mewanti-wantiku untuk segera membawa anakku memeriksakannya. Kalau tidak, panasnya tidak akan keluar dan menimbulkan bekas yang susah hilang. Aku hanya menggut-manggut tanpa ada keinginan untuk mengikuti sarannya.
Sorenya, ibuku datang menjenguk kami. Melihat badan cucunya yang masih ada bintik-bintik merah sepertinya ibuku sangat khawatir. Katanya pengalaman orang tua dulu, kalau panas begitu sebaiknya dicebor segera. Malah harus tiga kali berturut-turut. Istilah jaman sekarang, anak harus segera dibawa berobat, bukan hanya sekali asal demam reda, tapi harus terus dipantau karena demam anak bisa saja nnaik turun.
Aku ngeyel. Melihat itu, ibuku sendiri yang membawa anakku ke Emak Paraji. Kata ibuku anakku hanya dicuci tangan, kaki serta wajahnya sambil diberi minum air putih yang sudah dibacakan doa-doa.
Saat ibuku pulang, dia wanti-wanti supaya membawa anakku kembali ke Emak Paraji. Tinggal melanjutkan, begitu istilahnya. Ada rasa malu, ada rasa enggan, terlebih lagi anakku sepertinya baik-baik saja. Sampai aku harus meninggalkan anakku dan menitipkannya di ibuku karena aku ada pekerjaan ke luar kota.
Sepulangnya dari luar kota saat mampir ke rumah ibu untuk menjemput anak aku sangat terkejut ketika kaki anakku banyak bekas bintik-bintik hitam, seperti bekas borok. Ibuku langsung menginterogasiku. Kenapa cucunya jadi demikian? Sudah membawanya ke Emak Parajikah untuk melanjutkan pengobatan?
Aku jawab aku tidak membawanya lagi karena aku lupa. Maka keluarlah nasihat-nasihat dari ibuku sampai kuping ini rasanya panas sekali. Lebih sedihnya melihat anakku harus menerima akibat dari ibunya yang tidak cepat tanggap ini. Memang bekas bintik merah yang jadi kehitam-hiataman itu tidak tampak begitu terang dan tidak banyak tapi tetap saja aku jadi merasa bersalah dan berdosa.
Saat ini anakku akan berusia 2 tahun, bekas bintik hitam itu masih ada dan nyata. Sementara anak tetanggaku yang sebelumnya mempunyai keluhan yang sama bintik merah yang pernah tibul di badannya memang hilang tanpa bekas sama sekali.
Aku mungkin memang tidak ada pengalaman dan tidak tahu soal seperti itu. Tapi andai aku segera membawa anakku untuk berobat mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang. Penyesalan memang tiada guna. Pengalaman ini benar-benar sudah membuatku membukakan mata supaya lebih cepat tanggap jika anak mempunyai keluhan.
Jangan sampai menyia-nyiakan masa-masa golden age setiap anak yang sangat berharga atau kita sebagai orang tuanya akan menyesal berkepanjangan seumur hidup sepertiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H