Kasus penipuan daring di Indonesia semakin marak, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang dalam pemahaman teknologi. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait teknologi dan keamanan digital dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh para penipu daring. Dari kasus ini dapat dilihat bahwa banyak masyarakat yang masih kurang dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip literasi digital.
Penipuan daring merupakan ancaman yang serius di Indonesia. Berbagai modus seperti, phising, investasi palsu, hingga penipuan berkedok hadiah dilakukan untuk menarik korban. Modus-modus ini sering membuat masyarakat yang kurang memahami cara mengidentifikasi penipuan daring menjadi korban dan mengalami banyak kerugian.
Kejadian ini juga menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar antara perkembangan teknologi dan kemampuan masyarakat dalam menghadapinya. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, masih banyak individu yang tertinggal jauh pemahamannya terkait penggunaan teknologi. Kurangnya literasi digital ini menciptakan kesempatan besar yang dimanfaatkan dengan mudah oleh pelaku kejahatan penipuan daring, baik itu dalam skala nasional maupun internasional.
Jumlah kasus penipuan daring menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencapai 130.000 orang pada tahun 2022. Lalu, data dari Patroli Siber terkait laporan daring menunjukkan bahwa terdapat 14.495 laporan penipuan daring yang dibuat oleh masyarakat.
Jenis penipuan yang paling umum berdasarkan CFDS UGM kepada 1.700 responden yaitu, penipuan berkedok hadiah (36,9%), pengiriman tautan (33,8%), penipuan jual beli online (29,4%), penipuan melalui situs web atau aplikasi palsu (27,4%), dan penipuan berkedok krisis keluarga (26,5%). Pada Juli 2024, Bareskrim Polri mengungkap adanya penipuan daring internasional lowongan pekerjaan paruh waktu. Jumlah korban sebanyak 823 orang dengan total kerugian mencapai Rp59 miliar.
Polrestabes Surabaya mengungkap tindak pidana penipuan daring yang dilakukan oleh sekelompok Warga Negara Asing (WNA), beranggotakan 10 orang yang berasal dari China dan Vietnam pada bulan Agustus 2024. Modus penipuan mereka yaitu, menjual produk murah melalui platform digital, dan barang yang mereka janjikan tidak pernah dikirim.
Dari banyak riset yang dilakukan, media atau platform online yang sering menjadi media utama dalam penipuan daring adalah pesan atau telepon yang mencapai 64,1%. Hal ini menunjukkan bahwa modus penipuan pesan ataupun telepon tetap menjadi pilihan utama karena sifatnya yang langsung dan personal. Penipuan daring melalui pesan biasanya dengan mengirim pesan yang mengandung urgensi atau tawaran yang menggiurkan, dan dari modus ini banyak masyarakat yang menjadi korban karena kurang pandai dalam membedakan pesan asli dan pesan palsu.
Rendahnya pemahaman masyarakat tentang cara melaporkan atau memblokir nomor-nomor yang mencurigakan menjadi salah satu permasalahan yang berperan serta pada tingginya angka penipuan melalui media ini.
Kasus-kasus penipuan daring ini tidak hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga berdampak pada psikologis korban. Kerugian finansial tidak hanya merugikan korban secara individu tetapi juga berdampak pada perekonomian nasional. Korban yang mengalami dampak psikologis banyak di antaranya yang mengalami trauma, bahkan sampai takut untuk menggunakan kembali teknologi digital. Kondisi ini dapat memengaruhi kesehatan mental korban dalam jangka panjang.
Selain itu, dampak dari penipuan daring ini dapat membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap teknologi. Banyak individu yang merasa ragu untuk melakukan transaksi daring atau berbagi informasi secara daring, sehingga menghambat perkembangan teknologi di berbagai sektor, termasuk e-commerce dan layanan keuangan digital.
Penipuan daring yang menggunakan nama perusahaan atau organisasi tertentu dapat merusak reputasi mereka. Meskipun perusahaan atau organisasi tersebut bukan pelaku langsung, masyarakat akan terpengaruh dan mengaitkan nama mereka dengan kasus penipuan, yang pada akhirnya hal itu akan memengaruhi kepercayaan konsumen.
Data-data di atas menunjukkan lemahnya kesadaran masyarakat terhadap penipuan dan kurangnya kemampuan untuk memverifikasi informasi. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya edukasi tentang literasi digital, terutama di daerah-daerah yang masih memiliki keterbatasan akses teknologi. Banyak masyarakat yang percaya begitu saja pada informasi-informasi yang diterima tanpa melakukan pengecekan ulang atau memastikan keaslian sumbernya.