Mohon tunggu...
Tessa Sitorini
Tessa Sitorini Mohon Tunggu... -

Education Background > SMA 3 Bandung > Medical Faculty Padjadjaran University (Class of 96) ,eCornell 2010 Working Experiences: Jamsostek Clinic, PT Indorama, PT East West Seed, RS Asri, PT Meiji Indonesia, PT IDS Marketing Indonesia (Li & Fung Group)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman Membawa Anak ke UGD di Belanda

19 Oktober 2015   13:09 Diperbarui: 19 Oktober 2015   13:09 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rumi terlihat lebih lesu, anak-anak kalau ngga sakit betul biasanya minimal masih bisa nyanyi sambil tepuk-tepuk tangan. Tapi kali ini Rumi betul-betul tampak tak berdaya. Begitu menghitung frekuensi nafasnya sudah 62x/menit (nafas anak normal usia 1,5 tahun berkisar 20-30 x/mnt ) langsung si emak mengambil inisiatif membawanya ke rumah sakit. Pengalaman terakhir kondisi nafas cepat begini mengakibatkan saturasi oksigen Rumi dalam darah di bawah angka aman sehingga ia dirawat semalam untuk mendapatkan terapi.

Tapi ya namanya emak rempong, ngga semudah itu membawa Rumi ke rumah sakit, kakaknya lagi tidur, mau dibangunin ga tega dan bawa dua anak kecil ke rumah sakit cukup menantang. Akhirnya setelah telp papanya, kita sepakat untuk menunggu papa pulang ke rumah. Sambil menunggu si emak siap-siap memasukkan perbekalan baju, sikat gigi, mainan, buku dll jaga-jaga kalau sampai dirawat inap lagi. Walhasil satu travel bag, satu tas bayi dan dua back pack penuh dengan barang. Ini sebenarnya mau ke rumah sakit atau mudik sih?

Memasuki ruang emergensi kita langsung berbicara dengan resepsionis. Si mbak resepsionis menanyakan keluhan, tanggal lahir anak dan kartu asuransi. Selang beberapa menit kami dilayani dengan cekatan oleh perawat emergensi yang setelah melakukan anamnesa dan pemeriksaan tanda vital kami pun dipindahkan ke ruang observasi yang bersih, nyaman dan tertutup. Tak berapa lama datang mas co-ass (calon dokter umum) tanya ini-itu dan memeriksa Rumi, lalu datang perawat, lalu dua perawat lain yang tampaknya sedang belajar juga, namanya juga rumah sakit pendidikan, setiap kasus yang datang diteropong rame-rame. Tapi ada senangnya juga jadi pasien di rumah sakit pendidikan, pemeriksaan menyeluruh diiringi pelayanan yang ramah dari semua petugas medis dan orang tua diajak dialog mengenai ihwal penyakit dan treatment yang terbaik.

Rumi kemudian dipasang selang-selang yang dihubungkan ke patient monitor untuk mengukur dan memantau frekuensi detak jantung, EKG, frekuensi nafas, nadi, dan saturasi oksigen. Setelah dipantau dan diperiksa hampir dua jam, para dokter (co-ass, dokter emergensi dan dokter anak) setuju agar Rumi menjalani rawat inap, pertimbangannya saturasi oksigen masih di atas normal, tidak ada tanda-tanda dehidrasi, kesadaran umum baik dan menunggu respon antibiotik yang sudah diberikan per oral. Pretty logical. Saya jadi ingat saat saya jaga di bagian emergensi, kalau ketemu pasien kaya begini pastinya dikonsulkan ke spesialis anak dan disuruh rawat inap, prosedur standar pasang infus jaga dan langsung dibom sama antibiotik anti gram positif dan gram negatif yang tidak jarang harganya muahhal. Memang berbeda medan tempurnya.

Kemudian diam-diam saya terkesan dengan bagaimana para staf rumah sakit AMC (Academisch Medisch Centrum) ini memperlakukan seorang co-ass. Mereka punya kamar periksanya sendiri dengan papan nama laiknya dokter lain dan tampak diperlakukan sejajar dengan dokter dan perawat senior. Agak sedikit berbeda waktu zaman saya, sampai ada ungkapan "jadi co-ass seperti keset" biasa diperlakukan sewenang-wenang, dijudesin, jauh dari etika sesama manusia dan itu bukan hanya oleh dokter senior juga tak jarang perawat senior yang bertindak kejam bagaikan ibu tiri (yang jahat). Saya masih ingat ada perawat mirip Cruella yang kalau manggil membuat bulu kudik berdiri, "co-aaaaasssssss!" dengan nada yang tinggi dan mampu membuat stalaktit jatuh dari atap gua. What a nightmare! Untungnya tidak sedikit dokter dan perawat senior yang baik hati. Semoga suasana pendidikan kedokteran di Indonesia semakin lebih baik sekarang.

Di sela-sela memeluk Rumi yang mulai tertidur di ruang emergensi, saya merenung sedikit, jangan-jangan perilaku dokter yang kerap dibilang sombong, kurang komunikatif, atau malah cenderung mengerdilkan pasien adalah produk dari pendidikan yang telah dilalui masing-masing. Beberapa dokter yang memang bawaannya berhati emas akan tetap memancarkan kualitasnya akan tetapi tidak sedikit yang keluar dari pendidikan membawa trauma dan kebencian masa lalu sehingga seolah-olah melakukan balas dendam saat ia sudah lulus. Ah, wallahua'lam. ‪#‎just‬one side of a story

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun