Berapa kali Anda melontarkan kata "maaf" di tempat kerja?Â
Terlambat mengirim laporan? "Maaf ya, tadi sibuk banget." Salah input data? "Aduh, maaf, nggak sengaja." Terlambat balas chat dari atasan? "Sbb (Sorry baru baca)."
Sekilas, ini memang terdengar sopan. Tapi kalau dipikir lebih dalam, apakah setiap permintaan maaf itu benar-benar tulus? Atau hanya otomatis keluar agar tetap terlihat profesional dan menghindari konflik?
Maaf yang Kehilangan Makna
Di lingkungan kerja, kata "maaf" sering digunakan sebagai jalan pintas agar situasi tidak memanas. Masalahnya, kalau setiap kesalahan hanya diselesaikan dengan kata "sorry" tanpa perbaikan, lama-lama orang tidak lagi percaya.
Coba ingat kembali ketika Anda punya rekan kerja yang selalu telat menyelesaikan tugas. Setiap kali ditegur, dia bilang, "Maaf ya, tadi banyak kerjaan lain."Â
Tapi kejadian ini terus berulang setiap minggu. Apakah permintaan maaf itu masih berarti?
Sebaliknya, seorang rekan lain mungkin berkata, "Saya minta maaf, saya sadar ini menghambat tim. Mulai minggu depan saya akan mengatur waktu lebih baik agar ini tidak terulang." Dan benar, dia membuktikan dengan perubahan.
Inilah perbedaan antara maaf yang tulus dan maaf yang hanya sekadar formalitas.
Kenapa Terlalu Sering Minta Maaf Bisa Merugikan?