Kenapa Trauma Dumping Jadi Fenomena di Media Sosial?
Dulu, kalau orang punya masalah, mereka curhat ke sahabat, keluarga, atau mungkin psikolog.Â
Sekarang? Media sosial jadi tempat tercepat buat melampiaskan perasaan. Tanpa perlu repot janjian atau takut dihakimi langsung, seseorang bisa menuangkan semua isi hatinya lewat thread, video, atau story demi keuntungan belaka.Â
Dan karena algoritma media sosial sering memprioritaskan konten emosional, curhatan yang penuh drama atau kisah menyentuh lebih cepat viral---bikin orang makin terbiasa menjadikan media sosial sebagai "diary digital."
Selain itu, respons instan dari netizen juga jadi alasan kenapa trauma dumping semakin marak.Â
Setiap curhatan pasti ada yang komen, "Kamu nggak sendirian," atau "Stay strong!" yang memberikan rasa validasi. Bagi sebagian orang, ini bisa jadi pengganti terapi: walaupun sebenarnya nggak menyelesaikan akar masalah. Yang lebih bahaya, kalau curhatan ini malah dimanfaatkan untuk mencari perhatian atau engagement, tanpa mempertimbangkan dampaknya ke diri sendiri maupun pembacanya. Â
Curhat Sehat vs. Trauma Dumping: Bedanya di Mana?
Curhat itu wajar dan sehat kalau dilakukan dengan cara yang tepat.Â
Misalnya, ketika seseorang berbagi cerita dengan batasan yang jelas, fokus pada solusi, dan mempertimbangkan perasaan orang yang mendengarkan.Â
Curhat sehat biasanya dilakukan ke orang yang tepat, seperti teman dekat atau komunitas yang bisa memberikan dukungan nyata, bukan sekadar komentar simpati di media sosial. Â
Sebaliknya, trauma dumping lebih ke arah pelampiasan tanpa filter. Orang yang melakukannya sering membagikan detail traumatis tanpa berpikir apakah audiens siap mendengar atau tidak.Â