Manusia dan AI sekarang sama-sama punya kemampuan untuk menulis. Padahal menulis dulu merupakan bakat langka yang dimiliki oleh setiap orang. Lalu apakah pelan-pelan kita akan bergantung kepada "otak" AI?
Di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih, kehadiran Artificial Intelligence (AI) seperti ChatGPT telah mengubah banyak hal, termasuk cara kita menulis. AI bisa meniru, memodifikasi, dan "menghipnotis" ulang layaknya seperti bahasa penulisan kita. Dengan AI, menulis bisa jadi lebih cepat, efisien, dan bahkan terasa effortless.Â
Tapi, apakah ini berarti kita bisa melupakan kemampuan menulis yang selama ini kita pelajari? Jawabannya: tidak. Skill menulis tetap penting, meskipun saingat kita sekarang bukan lagi bersama dengan manusia. Namun, juga AI, si tuan AI yang serba pintar ini.
AI memang hebat, tapi ia hanya alat yang bekerja berdasarkan apa yang kita ajarkan. Manusia tetap memegang kendali atas kreativitas, emosi, dan nilai-nilai yang tak bisa digantikan teknologi. Jadi, mari terus belajar menulis. Bukan hanya untuk masa depan kita sendiri, tetapi juga untuk memastikan bahwa teknologi seperti AI digunakan dengan cara yang paling manusiawi.
1. Menulis Membangun Identitas Pribadi
AI memang bisa menghasilkan tulisan yang rapi dan informatif, tapi tulisan yang memiliki "jiwa" hanya bisa dihasilkan oleh manusia. Saat kita menulis, kita sebenarnya sedang menunjukkan cara berpikir, sudut pandang, dan kepribadian kita. Hal ini sangat penting, terutama dalam dunia profesional, di mana personal branding memainkan peran besar.Â
Tulisanmu adalah cerminan dirimu.
AI bisa meniru emosi, tetapi biasanya agak terasa "kering" atau generik. Sebaliknya, manusia dapat menyisipkan pengalaman pribadi, empati, dan kehangatan yang membuat pembaca merasa terhubung. Tulisan yang menyentuh hati lebih mudah diingat daripada tulisan yang hanya sekadar informatif.
Apalagi di zaman personal branding, orang akan berlomba-lomba untuk membangun identitasnya lewat tulisan-tulisannya yang hidup. Siapa sangka jikalau nanti kita dikenal sebagai seorang penulis, tetapi ternyata itu karya miliknya ChatGPT?
2. Kreativitas Tidak Bisa Dibatasi Teknologi