Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Itu Menuntun, Bukan Menuntut

24 November 2024   18:00 Diperbarui: 24 November 2024   18:04 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak Belajar (Sumber: Unsplash/Santi Vedri)

Pendidikan bukan hanya tentang mengisi kepala siswa dengan pengetahuan, tetapi mengajarkan bagaimana bisa mengembangkan potensi mereka.

Guru sejati bukanlah sosok yang menuntut kesempurnaan, melainkan seorang pemandu yang membantu siswa menemukan jalan mereka sendiri. Mereka memahami bahwa setiap siswa memiliki ritme dan cara belajar yang berbeda. Sebagai pemandu, guru tahu kapan harus mendorong, kapan harus memberi ruang, dan kapan harus berdiri di samping siswa untuk memberikan dukungan tanpa memaksakan jalur yang sama. Guru yang menuntun; menginspirasi siswa untuk mengeksplorasi potensi mereka, bukan sekadar mengikuti formula yang sudah ada.

Namun ketika guru terlalu sering menuntut, mereka sering kali tanpa sadar mengabaikan perbedaan karakter siswa. Fokus yang berlebihan pada pencapaian formal dapat meningkatkan tekanan pada siswa, yang akhirnya menurunkan rasa percaya diri mereka dan menumbuhkan ketakutan akan kegagalan. Sebaliknya, seorang guru yang menuntun menciptakan lingkungan di mana rasa ingin tahu dihargai. Mereka memberi ruang bagi siswa untuk belajar dari kesalahan mereka, dengan umpan balik yang membangun, bukan kritik yang merendahkan.

Dalam membentuk karakter, pendekatan tradisional sering kali lebih menekankan pada hukuman daripada pemahaman. Akibatnya, siswa bisa merasa malu dan kehilangan rasa percaya diri. Namun, pendekatan yang lebih progresif---seperti Segitiga Restitusi---menawarkan solusi dengan menekankan refleksi dan perbaikan diri. Alih-alih hukuman, model ini mengajarkan siswa untuk belajar dari kesalahan mereka tanpa rasa takut atau dihakimi, memberi mereka kesempatan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya lebih pintar.

Segitiga Restitusi (Sumber: sman15tanjabbarat.sch.id/)
Segitiga Restitusi (Sumber: sman15tanjabbarat.sch.id/)

Segitiga Restitusi adalah pendekatan yang digunakan untuk membantu individu memperbaiki kesalahan dengan cara yang konstruktif. Alih-alih berfokus pada hukuman, metode ini bertujuan memahami alasan di balik tindakan seseorang, menyelaraskannya dengan nilai-nilai pribadi, dan mendorong refleksi untuk perbaikan diri. 

Model ini terdiri dari tiga elemen utama: validasi kebutuhan, menanyakan keyakinan, dan menstabilkan identitas. Validasi kebutuhan dilakukan dengan mengakui bahwa setiap tindakan memiliki alasan, sekaligus mendorong individu menemukan cara yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selanjutnya, menanyakan keyakinan membantu individu merenungkan nilai-nilai yang mereka anut dan sosok yang ingin mereka wujudkan. Terakhir, menstabilkan identitas membantu mereka menerima bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar, sehingga rasa percaya diri tetap terjaga.

  1. Validasi Kebutuhan
    Elemen ini mengajarkan kita untuk tidak langsung menghakimi tindakan seseorang, melainkan memahami alasan di baliknya. Misalnya, seorang siswa yang tidak menyelesaikan tugasnya mungkin memiliki kebutuhan tertentu yang tidak terpenuhi, seperti rasa lelah atau kesulitan memahami materi. Dengan menanyakan, "Apa yang membuatmu merasa kesulitan?" guru dapat membuka dialog yang konstruktif.

  2. Menanyakan Keyakinan
    Tahap ini bertujuan menghubungkan tindakan individu dengan nilai-nilai moral yang mereka anut. Misalnya, seorang siswa yang ketahuan mencontek bisa diajak berdiskusi dengan pertanyaan seperti, "Apakah tindakan ini mencerminkan tindakan yang baik?" Hal ini membuat individu merenungkan tindakannya tanpa merasa dipermalukan.

  3. Menstabilkan Identitas
    Banyak orang merasa bahwa kesalahan mendefinisikan siapa mereka, padahal kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Melalui pernyataan seperti, "Setiap orang pernah salah, dan itu tidak membuatmu menjadi orang yang buruk," individu dapat belajar menerima kesalahan sebagai peluang untuk tumbuh. Menstabilkan identitas juga bisa dilakukan dengan cara menulis di kertas refleksi yang sudah disediakan oleh guru. Tujuannya sederhana, agar ketika siswa mengulangi kesalahan itu kembali, siswa dapat melihat refleksi itu kembali dan menulis ulang di kertas refleksi baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun