Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kalau Pilkada Bak Ajang Idol, Siapakah yang Akan Anda Pilih?

24 November 2024   07:29 Diperbarui: 24 November 2024   07:29 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vote Suara: Legal Atau Ilegal? (Sumber: Penulis)

Suaramu bakalan legal enggak? Benar, bukan hasil sogokan Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu?

Bayangkan: satu suara darimu akan menentukan nasib banyak orang. Pertanyaannya, apakah suara itu lahir dari keyakinanmu atau dari janji manis yang menyilaukan? Pilkada serentak 2024, yang bakal digelar 27 November 2024, adalah momen besar di mana rakyat Indonesia menjadi "juri" dalam pemilihan kepala daerah di 545 wilayah---dari 37 provinsi, 415 kabupaten, hingga 93 kota. Sebuah ajang demokrasi yang menentukan arah pembangunan dan kebijakan lokal untuk lima tahun ke depan.

Tapi, seperti ajang pencarian bakat sekelas Idol, Pilkada juga kerap diramaikan bumbu drama. Dalam Idol, peserta berusaha memikat hati juri dan penonton. Sementara dalam Pilkada, calon pemimpin yang akan berusaha merebut hati pemilih. Bedanya? Kadang, usaha itu dilakukan bukan hanya lewat visi dan rekam jejak, tapi juga dengan "gimmick" yang jauh dari etika demokrasi---sebut saja sogokan, janji palsu, atau pemberian hadiah.

Fenomena ini mengingatkan pada peserta Idol yang menyilaukan juri dengan penampilan megah; meskipun kualitas aslinya tak seberapa. Dalam Pilkada, kita sering mendengar praktik pembelian suara yang justru merusak semangat demokrasi sejati. Sayangnya, banyak pemilih tetap terbuai oleh popularitas atau iming-iming sesaat, tanpa benar-benar memikirkan dampaknya pada masa depan daerah mereka.

1. Pilkada: Ajang Pencarian Bakat atau Pencitraan?
Pilkada serentak 2024 akan menjadi ajang besar di mana calon kepala daerah bersaing untuk mendapatkan dukungan rakyat. Mirip dengan ajang Idol, para calon berusaha menunjukkan kemampuan terbaik mereka untuk meyakinkan pemilih. Melalui debat, iklan, dan visi misi, mereka berupaya membangun citra positif yang membuat mereka tampak sebagai pilihan terbaik. Namun, sama seperti di Idol popularitas lebih berperan daripada kualitas yang sesungguhnya. Media sosial dan televisi menjadi tempat medan utama para calon untuk meraih perhatian, sehingga yang lebih menonjol adalah strategi pencitraan, bukan prestasi yang konkret.

Fenomena ini menjadi masalah karena pemilih yang hanya mengandalkan citra dan popularitas calon bisa terjebak dalam keputusan yang tidak objektif. Banyak pemilih yang memilih hanya berdasarkan tampilan luar---seperti kemampuan berbicara yang meyakinkan atau penampilan menarik di iklan---bukan berdasarkan rekam jejak atau visi yang benar-benar relevan untuk kemajuan daerah. Pilkada seharusnya menjadi ajang untuk memilih pemimpin yang memiliki kemampuan nyata untuk membawa perubahan, bukan hanya untuk mereka yang pandai berkomunikasi atau menciptakan citra.

2. Fenomena Sogok-Menyogok: Praktik Gelap yang Merusak Demokrasi
Praktik sogok-menyogok dalam Pilkada bukanlah hal baru. Di beberapa daerah, suara pemilih masih bisa dibeli dengan uang atau iming-iming lainnya, seperti pemberian barang atau janji-janji manis yang bersifat sementara. Fenomena ini semakin memperburuk kualitas demokrasi, mirip dengan cara peserta Idol yang menggunakan trik curang untuk mendapatkan dukungan juri atau penonton. Dalam Pilkada, praktik seperti ini merusak fondasi demokrasi yang seharusnya dibangun berdasarkan prinsip keadilan dan transparansi.

Dampaknya sangat besar: ketika suara pemilih dibeli, pemimpin yang terpilih belum tentu yang terbaik, tapi yang paling mampu melakukan transaksi. Akibatnya, daerah bisa terjebak dalam kepemimpinan yang tidak memiliki visi nyata untuk pembangunan jangka panjang. Masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat dari kebijakan pemerintah malah terjebak dalam pilihan yang tak mencerminkan kepentingan bersama. Ini merugikan rakyat, karena mereka kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar layak dan mampu membawa perubahan positif.

3. Rakyat Sebagai Juri: Waktunya Menilai Berdasarkan Substansi, Bukan Citra
Dalam Pilkada, rakyat bisa berperan sentral sebagai "juri" untuk menentukan siapa yang pantas memimpin. Sebagai pemilih, mereka seharusnya menilai calon pemimpin berdasarkan substansi, seperti visi, integritas, dan kemampuan nyata dalam memimpin, bukan hanya pada penampilan atau kemampuan berbicara di depan publik. 

Sama seperti dalam Idol, di mana juri menilai bukan hanya dari penampilan tetapi juga kualitas, pemilih juga perlu lebih kritis dalam memilih calon yang benar-benar memiliki rekam jejak dan kapasitas untuk membangun daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun