Mohon tunggu...
teruslanjut
teruslanjut Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dari Wonosobo ke Cilacap (Episode 5) #teruslanjut

27 Februari 2017   11:57 Diperbarui: 1 April 2017   06:36 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari dimulai subuh, ketika Jurek melakukan olahraga ringan agar jiwa tetap segar katanya. Sembari menunggu sarapan dari pak Darsono and crew. Kita juga akan kembali membeli NASI MEGONO BU GITO, untuk bekal perjalanan hari ini. Setelah sedikit berolahraga, sarapan telah tersaji di meja. Pak Darsono menyediakan menu nasi, mie goreng, tahu dan tempe bacem, juga telor ceplok, dan tidak lupa cabe rawit. Ini hal unik yang kita temukan di Wonosobo. Setiap kali makan, kita tidak disuguhkan sambal olahan, melainkan cabe rawit.

Terjadi sebuah kejadian unik ketika Ncek dan Temon hendak membeli nasi megono Bu Gito. Beberapa petugas kepolisian dengan lencana Polres Wonosobo datang ke homestay. Satu berjaga di luar rumah, dan tiga lainnya di ruang tamu. Di antara tiga polisi di ruang tamu itu, ada satu petugas yang tidak menggunakan seragam polisi, tetapi pakaian formal biasa – kemeja biru dan celana bahan. Pak Darsono meminta kami untuk menunjukkan identitas diri di depan mereka. Setelah kondisi cair, kami mengobrol sedikit dengan para aparat kepolisian tersebut. Bahkan, mereka ikut membantu memberi masukan bagaimana cara kita bergerak menuju Cilacap. Saat itu juga ada dua petugas Indihome yang sedang memperbaiki jaringan wifi dan memasang jaringan TV di Homestay Ortegha. Menurut pak Darsono, supaya pelanggan yang menginap di tempatnya – yang kebanyakan orang luar negeri – bisa menikmati suguhan TV kabel.

Lanjut… kita kembali diskusi bagaimana caranya menuju Cilacap. Pilihan pertama adalah naik shuttle bus Sumber Alam seharga Rp. 60.000 tapi berangkatnya pukul 15.30 – tentunya pilihan pertama kita coret. Kedua adalah naik Qyta Trans yang berangkat dari Semarang menuju Cilacap via Wonosobo, tapi diperkirakan sampai Wonosobo pukul 16.30 dan harganya Rp 130.000 – sontak kami robek pilihan kedua tersebut. Berikutnya adalah naik bus Budiman yang harganya belum diketahui, tetapi berangkatnya hanya dua kali sehari yaitu jam 7 pagi – kepagian -- dan pukul 6 sore – jelas kesorean.

Setelah banyak menimbang, akhirnya kami putuskan untuk naik Shuttle Sumber Alam tujuan Purwokerto yang berangkat tiap jam dari Plaza Wonosobo seharga Rp. 50.000.  Kami kembali memesan taksi DNA dan kali ini drivernya adalah pak Sapto yang pernah menjadi driver di World Bank cabang Jakarta dan juga enam tahun menjadi driver travel Baraya Jakarta-Bandung. Jangan-jangan diantara banyaknya perjalanan kami ke Bandung menggunakan Baraya, pernah disupiri dengan selamat sampai tujuan oleh pak Sapto. Thanks Pak! Sampailah kami di agen Sumber Alam yang terletak di Plaza Wonosobo, dengan angka di argo menunjukkan Rp 40.000.

Luar biasanya, saat kami tiba di agen shuttle Sumber Alam, petugas mereka sangat ramah dan kooperatif. Mereka menyarankan kita untuk turun di daerah Sukaraja, untuk selanjutnya naik bis tujuan Cilacap. Akhirnya berangkatlah kami pukul 10.30 menuju Purwokerto. Sebelum berangkat, kami menyempatkan diri untuk berbincang dengan pak Sugro selaku crew Sumber Alam yang memberi wawasan mengenai kekhasan cabe rawit di Wonosobo.

Perjalanan dipenuhi guncangan, karena memang supirnya membawa kendaraan cukup kebut, juga ditambah posisi duduk kami tepat di atas ban paling belakang. Meski demikian, kondisi kurang tidur – karena proses offline semalam – tetap membuat kami terlelap beberapa saat di perjalanan.

Sejam kemudian sampailah kami di persimpangan Sukaraja, yang langsung disambut kondektur bus seukuran metro mini untuk diantar menuju Cilacap. Nominal 80.000 untuk berempat keluar dari kantong kami untuk sampai ke Cilacap dengan bis itu, yang akhirnya kami ketahui bernama Puteri Muria. Bus tersebut rupanya cukup popular di kalangan pelajar kota-kota yang kami singgahi seperti Banyumas dan Kroya. Setiap beberapa saat pelajar yang pulang sekolah turut menumpang bis ini untuk kembali ke rumahnya. Sepanjang mata memandang, banyak disuguhi lansekap persawahan, bukit, serta sungai-sungai besar yang mengaliri kota-kota itu, termasuk sungai besar terkenal – sungai Serayu.

Di tengah jalan seorang pengamen naik dan melantunkan sebuah lagu, yakni lagu dengan judul Selamat Pagi Terang yang dinyanyikan band indie populer asal Bandung – Closehead. Ia bernama Andra, dan sering mengamen di waktu luang. Bahkan Andra mengaku, dulu sering mengamen hingga ke Jogja pulang-pergi dari kota asalnya: Purbalingga. Kami sempat bersama menyanyikan lagu Closehead berjudul Berdiri Teman dengan diiringi gitar kesayangan mas Andra. Perjumpaan kita berakhir di suatu persimpangan, saat dirinya pamit untuk menuju daerah lain.

Tak lupa juga kami makan siang (nasi megono Bu Gito) yang telah dibeli pagi tadi di dekat Homestay. Setelah sekian jam, nasi itu tidak berubah rasa dan masih sanggup memuaskan lidah serta perut kami – naluri hewani yang kita punya. Padahal, makan di bis tersebut mempunyai kesulitan yang cukup tinggi. Selain goncangan, tubuh juga sering bergerak kasar karena tikungan tajam serta rem dadakan. Setidaknya, kami merasa cukup higienis saat cuci tangan karena selalu membawa alkohol cuci tangan khas rumah sakit. Sekian jam berlalu dari persimpangan Sukaraja, sampailah kami akhirnya di tujuan akhir bus Puteri Muria – yang tak ber-AC dan sepertinya belum diservis, yakni Cilacap. Dari situ seorang supir angkutan umum langsung menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke Hotel Teluk Penyu – tempat kami akan berhubungan intim dengan Kasur malam ini. Sang supir meminta biaya Rp 20.000 untuk kami berempat dan langsung diantar ke depan Hotel Teluk Penyu yang berada di Jalan DR. Wahidin, Cilacap. Satu hal unik mengenai nama jalan ini; DR. Wahidin Sudirohusodo (yang disebut Dokter Jawa Pensiunan di novel Bumi Manusia) adalah seorang priyayi Jawa yang menggugah beberapa mahasiswa School tot Opleiding van Indlansche Artsen (STOVIA)  untuk membuat suatu organisasi pergerakan kemerdekaan – yang kemudian melahirkan organisasi awal pergerakan kemerdekaan -- Budi Oetomo.

Ohya, awalnya kami berencana menginap di Airbnb milik Pak Ajie. Namun sayangnya, Pak Ajie menghubungi kami, dan bilang bahwa penginapannya sedikit rusak sehabis diterpa hujan dan angin semalaman. Ia mengaku, atapnya sedang bocor. Jadi kita putuskan untuk menyewa kamar di Hotel Teluk Penyu.

Episode berakhir saat kami tiba di depan hotel. (teruslanjut)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun