(9 November 2016)
Hari dimulai sesaat setelah kami menyeruput teh hangat di Plaza Wonosobo. Sembari beberapa petugas kebersihan membersihkan jalan, kami mulai menyusuri beberapa jalan di Wonosobo. Diantaranya Jalan Ahmad Yani, Jalan Kranggan, dan Jalan Veteran. Aktivitas masih sepi, udara yang kami hirup terasa segar dan melegakan dada. Apalagi ditambah becandaan di antara kami. Namun, saat sedang asik berjalan, kami hentikan sejenak pergerakan di depan gedung BCA. Di sini kami bertemu Pak Yakub selaku security.
Ternyata, Pak Yakub lahir di Jakarta, tepatnya daerah Tebet. Ia menjelaskan, selama lima tahun dirinya tinggal dan merasakan keriuhan ibukota. Cukup lama kami berdiam diri di sini, ada suatu keperluan yang mengharuskan kami duduk sampai matahari benar-benar mulai menyapa dan beberapa warga Wonosobo melakukan aktivitas, salah satunya jogging.
Sayangnya Pak Yakub sedang terluka, kakinya pincang sehabis jatuh dari motor.Yakub cerita, dirinya seorang yang hobi mancing. Nah, kejadian itu terjadi setelah ia dan temannya memancing di empang. Namun pak Yakub tetap tersenyum bahagia menceritakannya.Suatu cerminan ikhlas menerima kejadian apapun dalam hidup.
Lanjutkan perjalanan, ternyata di depan kita sudah terbentang alun-alun Wonosobo yang khas dengan dengungan lonceng gereja, aktivitas senam, jogging, dan tentunya padanan kata yang terbaca “WONOSOBO ASRI”.
Tepat pukul 06.00 pagi kami menikmati kehidupan pagi dan udara sejuk di alun-alun Wonosobo.Ditambah tampilan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang memeluk Wonosobo tampak sangat cerah hingga ke puncaknya.Menambahkan kepuasan kami, yang sehari-hari bergelut dengan gedung pencakar langit perusak tumbuhan dan selalu memantulkan sinar terik matahari.
Selanjutnya kami putuskan untuk memesan taksi dan langsung menuju Homestay Ortegha yang terletak di Jalan Raya Dieng.Taksi yang kami pesan, drivernya berpakaian cukup unik. Usianya tak muda lagi, ia berpakain loreng-loreng khas militer plus topi baret di kepalanya. Selang belasan menit, kami tiba di homestay. Di sana, kami langsung disambut keramahan pemiliknya, yakni Pak Darsono. Menurutnya, kami harus check-in pukul 13.00, namun diperbolehkan masuk kamar saat jam menunjukkan 07.15. Terima kasih pak Darsono!
Yang disayangkan adalah supir taksi kami meminta biaya Rp 40.000, padahal argo menunjukkan Rp 26.000. Tapi yasudahlah…
Lantas kami pilih kamar standar dengan kamar mandi luar dan meregangkan kaki sejenak.Kemudian, perut mulai mengetuk, saatnya mencari makan. Sekitar seratus meter belok kiri dari depan Homestay Ortegha, kami menemukan warung makan Bu Gito yang menyajikan menu nasi megono dan tempe kembus.
“Wah!”, “Luar Biasa!”, dan “Gilak!”, umpatan yang kami cetuskan ketika menyantap nasi megono Bu Gito.Memang sangat nikmat sekali, paling tidak untuk kami berempat yang belum pernah merasakan makanan tersebut. Menurut Bu Gito, setidaknya dalam campuran nasi itu ada beberapa sayuran dan teri yang dipadankan dengan beberapa bumbu rahasia. Dengan disertai gorengan tempe kemul, cireng, tahu, dan hentakan dari cabe rawit. Pagi yang sangat membuat kami bahagia. Terima kasih Bu Gito!
Episode kami akhiri di sini, dengan perut yang sangat terisi penuh, hati senang, jiwa bugar, dada lega, dan mata sayu.Untuk selanjutnya kami mulai hubungan intim dengan Kasur. (teruslanjut)