Sudah merupakan kesepakatan semua pihak bahwa kampanye itu sejatinya berisi pemaparan visi dan misi para kandidat, namanya mengadu program. Sebab pada program kerjanya itu letak kepentingan khalayak yang akan memilihnya. Berarti kandidat yang memiliki program kerja terbaik berhak menjadi pemenang. Sudah menjadi kesepakatan pula, pihak-pihak lain di luar kandidat mesti netral. Pemerintah mesti netral, media massa mesti netral. Keberpihakan pemerintah maupun media massa adalah pencederaan terhadap demokrasi.
Tetapi semua itu hanyalah teori. Dalam pilpres 2014 ini yang menampilkan dua kandidat terkuat yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo, kampanye hitam beredar kencang. Begitu pula keberpihakan media massa sangat kentara, dalam hal ini media massa berpihak kepada Joko Widodo. Banyak pihak mengeluhkan ketidakadilan ini. Ditengarai bahwa Joko Widodo disokong oleh sejumlah konglomerat hitam yang tergabung dalam Jasmev, yang telah mengkooptasi media massa untuk melambungkan Joko Widodo dan menjatuhkan Prabowo Subianto.
Situasi ini tak dapat dihentikan, karena ketiadaan bukti dan sulitnya menemukan pasal-pasal pidana untuk menjeratnya. Yang lebih menyulitkan adalah sinyalemen penggelontoran dana besar-besaran dari kubu Jasmev yang membuat aparat hukum pun menjadi tumpul. Tak ada jalan lain, pihak yang merasa dirugikan akibat ketimpangan ini harus melakukan perlawanan yang sepadan. Kampanye non program dilawan dengan kampanye non-program.
Berikut materi kampanye hitam yang menyerang kedua pihak:
1. Prabowo Subianto, disasar dengan isu pelanggaran HAM tragedi 1998. Meskipun fakta hukumnya tuduhan ini telah selesai, tetapi terus dihembus-hembuskan oleh aktifis Komnas Ham yang sekarang, dan pemberitaan mengenainya diblow-up habis-habisan oleh media massa. Kemungkinan hasil akhirnya adalah sebagian masyarakat menjadi antipati terhadap Prabowo dengan mengurungkan niat memilihnya. Sedangkan sebagian lagi kemungkinan tak peduli. Meskipun isu ini tak dapat menggagalkan keikutsertaan Prabowo dalam Pilpres, namun akibatnya sangat merugikan. Bisa membuat Prabowo kalah dalam pengumpulan suara.
2. Joko Widodo, disasar dengan isu mengenai kejelasan asal-usulnya dan kepastian mengenai agama yang dianutnya. Dalam beberapa kesempatan ia telah menyatakan dirinya keturunan Jawa Asli dan beragama Islam, namun pernyataannya itu masih mengambang, terdapat alasan kuat meragukannya. Berbagai pihak menyatakan bahwa Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan beragama Katholik. Meskipun isu ini sementara masih dapat diredam, namun akan berdampak hebat jika menjalar ke masyarakat luas. Bisa jadi pencapresan Joko Widodo batal bahkan kedudukannya sebagai Gubernur DKI bakal copot.
Nah, penulis sebagai pendukung Prabowo berharap agar kampanye hitam ini segera dihentikan, tak ada gunanya. Media massa pun segeralah kembali kepada hakikatnya semula, yaitu netral. Semua pihak bermawas diri. Kita hanya dibolehkan menyosialisasikan program masing-masing kandidat. Mengadu visi-misi mereka untuk dinilai oleh masyarakat pemilih.
Namun apabila Pendukung Jokowi dan jasmev-nya tetap pada pendiriannya, khususnya tetap mengkooptasi media massa - termasuk di Kompasiana ini. Maka tak ada jalan lain bagi kami selain melayaninya. Masih dua bulan lagi sebelum hari pencoblosan tiba. Masih banyak kemungkinan yang akan terjadi. Kampanye hitam dijawab dengan kampanye hitam. Anda jual, kami beli!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H