Maret 2011, saya dan beberapa teman mendapatkan proyek dari dosen untuk praktek mengenai jurnalisme lingkungan hidup. Kami mulai dari menggali informasi mengenai kesadaran masyarakat akan lingkungannya di negara ASEAN. Kami pun memilih lima negara Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Indonesia untuk proyek kami. Dan karena perjalanan jurnalistik itu adalah kali pertama kami ke luar negeri, kami pun selalu tersesat di setiap negara.
Total perjalanan kami adalah sebelas hari dengan rute Yogyakarta- Singapura- Malaysia- Thailand- Kamboja- Vietnam- Jakarta- Yogyakarta. Karena itu, setiba di setiap negara kami harus segera mencari tiket ke negara tujuan berikutnya. Apalagi kami telah merencanakan perjalanan ala backpacker sehingga kami harus mendapatkan tiket termurah dalam setiap perjalanan antar negara. Kami pun membentuk tim yang bertanggung jawab untuk transportasi. Dari delapan personil, tim transportasi adalah saya dan dua orang teman. Tugas kami adalah mencari informasi dan tiket termurah untuk mencapai negara selanjutnya. Walaupun, kami telah merancang perjalanan jauh sebelum hari keberangkatan namun banyak kejadian terjadi di luar dugaan kami.
Pada hari ke-5 tepat tanggal 11 Maret 2011 kami tiba di Bangkok, Thailand. Setelah dua malam di Bangkok, kami melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh menggunakan bus. Kami memesan tiket Bangkok- Siem Reap (transit semalam) kemudian Siem Reap- Ho Chi Minh. Sebenarnya kami berusaha untuk mendapatkan tiket kereta. Namun, kami kehabisan tiket kereta karena bertepatan masa libur di Thailand. Bahkan pemerintah Thailand memberikan tiket gratis kereta ekonomi untuk warganya saat musim libur. Dari Thailand menuju Vietnam, kami harus melewati kerajaan Kamboja. Kami juga harus bermalam di kota candi Angkor Wat, Siem Reap. Perjalanan menembus kerajaan Kamboja itulah yang merupakan pengalaman paling mengejutkan sepanjang proyek lima negara kami. Sebelumnya, kami mendapatkan informasi bahwa perjanjian penghapusan visa berkunjung ke Kamboja untuk WNI. Bahkan kami telah membawa bukti berupa artikel terkait perjanjian antar menteri luar negeri (Menlu) Indonesia dan Kamboja.
Kami memasuki Kamboja melalui sebelah barat tepatnya di perbatasan Poipet- Aranyaprathet. Kedatangan kami disambut dingin oleh pihak imigrasi karena menolak untuk membayar visa. Kami pun pontang- panting dari satu kantor ke kantor lainnya. Bahkan kami juga sempat tersulut emosi karena tanggapan yang buruk dari pihak imigrasi. Kami akhirnya harus mengalah dan membayar visa kunjungan sebesar 10$. Karena kejadian di kantor imigrasi yang memakan waktu sekitar satu jam, kami kehilangan bus dari agen perjalanan. Kami harus menggunakan bus yang disediakan yaitu bus umum yang juga berpenumpang masyarakat setempat.
Supir dan kondektur bus tidak memberi tahu dengan jelas kepada kami berapa jam kami akan sampai dan dimana kami akan diantarkan. Terlebih, bus yang membawa kami berhenti di dua tempat makan dalam lima jam perjalanan. Hal tersebut membuat kami semakin cemas, supir menyuruh kami untuk menghubungi kontak yang ada di tiket kami. Namun, kami malah dibohongi oleh anak- anak yang menawarkan jasa telepon dengan harga mahal. Kami pun memilih pasrah.
Kami sangat terkejut ketika diturunkan di tempat berupa halaman rumah tidak berpenghuni. Kami pun panik bukan main. Ketika bus berhenti, masuklah seorang laki- laki ke dalam bus dan menyapa penumpang, “welcome to Siem Reap . . . . ”. Dia yang kemudian kami ketahui bernama Ella menjelaskan bahwa kami harus menggunakan tuk- tuk (alat transportasi tradisional Kamboja) dengan membayar 10$ untuk menuju pusat kota. Saya bertambah kaget mendengar hal tersebut karena kami harus mengeluarkan uang lagi di luar rencana. Namun apa daya, Saya kemudian menceritakan tragedi di imigrasi dan menunjukkan tiket perjalanan kami. Kami hampir tidak percaya ketika Ella mengomentari nama dari kontak perusahaan agen, “he is my brother”. Kemudian berkata setengah terkejut melihat nama vila yang akan kami tinggali, “No Probem villa? This is my villa”. Percaya tidak percaya, kami pun mengikuti Ella dan tiba di “No Problem Villa”.
Ella mengaku sangat senang bertemu kami, warga negara Indonesia. Dia berkata bahwa Indonesia telah banyak membantu dalam pertikaian antara Kamboja dan Thailand. Ella juga yang akhirnya mengurus tiket kami untuk perjalanan ke Ho Chi Minh.
Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus yang bercampur masyarakat lokal. Mereka membawa banyak bawaan dan tumpukan sayuran ke dalam bus. Sebelumnya, Ella tidak menjelaskan apapun terkait perjalanan kami menuju Ho Chi Minh. Kami hanya tahu bahwa tiket yang diserahkan akan mengantar kami hingga Ho Chi Minh. Namun dengan bus seperti itu, kami sanksi akan mendapati Ho Chi Minh. Bahkan, di dalam bus tersebut hanya kami berdelapan dan seorang laki- laki kewarganegaraan United Kingdom (UK) yang berasal dari luar Kamboja. Kami pun juga sama- sama tidak tahu kemana bus akan membawa kami.
Melihat kepanikan kami, seorang laki- laki asli Kamboja menjelaskan rute yang akan kami tempuh. KE Sophron, seorang english guide menjelaskan kepada kami bahwa bus akan berhenti di Pnom Penh, ibu kota Kamboja. Katanya, kami kemudian akan dijemput mobil agen perjalanan untuk mendapatkan bus menuju Ho Chi Minh. Sophorn juga mengenalkan kami makanan tradisional Kamboja yakni nasi yang dimasak dengan cara dibakar di dalam bambu. Setelah berpisah dengan Sopohrn di Pnom Penh, kami akhirnya menginjakkan kaki di Ho Chi Minh juga dengan bantuan orang- orang yang baru kami kenal selama perjalanan. Perjalanan dari Ho Chi Minh ke Jakarta hingga ke Yogyakarta pun masih tidak luput dari kepanikan. Namun, perjalanan ala backpacker adalah sungguh kepuasan yang istimewa dalam sebuah lawatan. Selamat travelling dan salam backpacker.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H