Mohon tunggu...
Terry Sie
Terry Sie Mohon Tunggu... -

Male

Selanjutnya

Tutup

Politik

Klarifikasi Swastanisasi BUMN Era Ibu Megawati

5 April 2014   01:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Megawati saat menjabat jadi presiden Republik Indonesia telah mengambil inisiatif kebijakan untuk melakukan swastanisasi dan melindungi konglomerat hitam.


  1. Tidak benar bahwa Megawati mengambil inisiatif kebijakan untuk melakukan swastanisasi dan melindungi konglomerat hitam. Tidak ada bukti sama sekali untuk menyatakan bahwa ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia dari 23 Juli 2001 — 20 Oktober 2004. Megawati telah dengan secara sengaja meluncurkan kebijakan penjualan aset usaha negara kepada pihak swasta dan melindungi kalangan bisnis yang ingkar dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang kepada negara.
  2. Inisiatif kebijakan untuk melakukan swastanisasi dan penalangan utang kalangan swasta adalah produk dari rancangan kebijakan besar yang diambil oleh rejim Orde Baru-Suharto. Sebagai akibat dari kesepakatan dengan IMF pada 31 Oktober 1997 untuk menangani krisis keuangan yang tengah berlangsung, rejim Orde Baru telah dipaksa untuk menjalankan seluruh rekomendasi yang terdapat dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP). Kerangka kesepakatan yang ditandatangani Suharto dengan IMF pada 31 Agustus 1997 ini menjadi titik awal untuk menghasilkan rangkaian kesepakatan lainnya dalam bentuk kesepakatan letter of intent sebagai persayaratan (conditionality) terhadap pemberian bantuan keuangan yang diberikan IMF. Swastanisasi dan penalangan utang swatsa adalah bagian dari produk kebijakan yang dihasilkan di bawah kerangka kesepakatan IMF tersebut yang dikenal dengan paket stand by arrangement.
  3. Fakta yang ada menunjukkan bahwa MEFP yang ditandatangani pada masa Suharto ini telah dilanjutkan juga oleh pemerintahan Habibie. Walau hanya memerintah selama setahun, pemerintah transisional Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999) telah menyepakati sebanyak 7 kesepakatan dengan IMF (Letter of Intent – LoI), masing-masing tertanggal 29 Juli 1998, 11 September 1998, 19 Oktober 1998, 13 November 1998, 16 Maret 1999, 14 Mei 1999 dan 22 Juli 1999. Demikian juga halnya dengan masa pemerintahan Gus Dur. Pemerintahan yang merupakan produk dari koalisi poros tengah ini juga telah menghasilkan kesepakatan lanjutan. Selama kurun waktu dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001, setidaknya terdapat empat kesepakatan yang dihasilkan oleh pemerintahan Gus Dur.
  4. Adanya sembilan letter of intent yang dihasilkan selama pemerintahan Megawati juga adalah konsekuensi dari rentetan kebijakan yang dihasilkan pada masa-masa sebelumnya. Keseluruhannya merupakan produk dari skenario kebijakan besar yang telah dihasilkan pada masa rejim Orde Baru Suharto. Dalam hal ini patut dicatat pula bahwa seluruh skenario kebijakan itu berakhir pada masa pemerintahan Megawati. Keputusan pemerintahan Megawati untuk mengakhiri seluruh paket kebijakan IMF pada Desember 2003 ini sesungguhnya telah meletakkan landasan dan menjelaskan mengapa pemerintahan berikutnya tidak lagi terjebak oleh kondisi dan persyaratan yang dipaksakan oleh IMF. Ringkasnya, kurun waktu selama 1997 hingga 2003 telah memaksa seluruh pemerintahan di Indonesia, –baik pemerintahan Suharto, pemerintahan transisional Habibie, pemerintahan koalisi “poros tengah” yang dipimpin oleh Gus Dur, maupun pemerintahan Megawati– untuk “mencuci piring-piring kotor” yang ditinggalkan oleh kebijakan ekonomi rejim Orde Baru.
  5. Secara politik pilihan untuk tidak mentaati seluruh kesepakatan ini sebenarnya juga telah tertutup. Harus dicatat fakta sejarah berikut bahwa tidak terdapat satupun Tap MPR yang dikeluarkan setelah kejatuhan Suharto yang menyatakan bahwa kesepakatan dengan IMF adalah tidak sah secara konstitusional dan harus dibatalkan oleh pemerintah pasca Suharto. Bahkan Tap MPR yang telah dikeluarkan oleh lembaga tertinggi negara ini menjadi suatu landasan kerangka politik untuk mengerangkeng dan sekaligus mendorong Presiden untuk melakukan swastanisasi dan memberikan penalangan utang terhadap pihak swasta.
  6. Tap MPR No. X tahun 2001 misalnya menugaskan kepada Presiden untuk tetap melanjutkan kebijakan yang tidak pro rakyat. Dalam bidang ekonomi dan keuangan, Tap MPR ini menugaskan kepada Presiden untuk segera menyusun rencana tindak swastanisasi. Tap MPR No. X tahun 2001 ini juga menugaskan kepada Presiden untuk melakukan penjualan aset-aset yang dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN). Demikian juga halnya dengan Tap MPR No.VI tahun 2002. Terkait dengan kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, tidak satupun rekomendasi kebijakan dari Tap MPR No. 6 tahun 2002 ini yang mengharuskan Presiden untuk menghentikan swastanisasi dan penjualan asset yang diambil alih pemerintah dan berada di bawah BPPN.
  7. Wewenang Megawati sebagai Presiden secara konstitusional tentu saja tidaklah boleh menghasilkan kebijakan ekonomi yang melampui wewenang MPR sebagai lembaga tertinggi negara itu. Seluruh kebijakan ekonomi Megawati dalam melakukan swastanisasi dan penjualan aset BPPN adalah sebuah keharusan untuk sealur dengan mandat kewenangan yang diberikan oleh Tap MPR itu. Karena itu pula pernyataan bahwa Megawati telah melakukan penyimpangan konstitusional dalam kebijakan ekonomi selama menjabat sebagai Presiden adalah suatu pernyataan politik yang dimotivasi oleh motif-motif untuk mengingkari bukti-bukti sejarah yang ada.
  8. Sesungguhnya Megawati bahkan telah mengeluarkan suatu perintah untuk mengambil tindakan hukum kepada pihak pengusaha yang tidak menyelesaikan kewajibanannya. Instruksi Presiden No. 8 tahun 2002 yang dibuat oleh Megawati secara tegas telah menugaskan kepada pimpinan Polri dan Kejaksaaan Agung sebagai lembaga utama penegak hukum di Indonesia untuk mengambil tindakan bagi para debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN. Inpres ini tidak pernah dicabut dan tentu saja seharusnya tetap berlaku sebagai landasan ketentuan hukum untuk memaksa pemerintahan pasca Megawati mengambil tindakan-tindakan hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun