Mohon tunggu...
Terry Oktav
Terry Oktav Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Libur sebentar dari tulisan. Lagi fokus UN :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Boleh Aku Rindu, Bu?

7 Agustus 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:32 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13758502421720450168

“Jika ada kehidupan setelah ini. Jika Tuhan memberiku hidup dari awal lagi. Percayalah … aku akan hidup dengan tetap memilih menjadi anakmu. Bu, aku rindu..”

“Ceritakan sekali lagi tentang Nenek, Ma!”

Aku tersenyum pada seorang gadis berkuncir dua yang kini duduk di sampingku. Mata bulatnya masih meminta. “Baiklah Nella.” Aku mengangkatnya kepangkuan. “Tapi, satu kali ini saja, ya?”

Nella—putriku—mengangguk kecil.

Mobil masih menderu. Tawaku, tawanya melintas di sela riuh jalanan. Sesekali aku membandingkan dia dengan masa kecilku. Apa aku dulu banyak tanya seperti ini? Apa Ibuku merasa tak nyaman dengan pertanyaanku? Sepertinya, tidak.

Aku masih ingat benar bagaimana Ibu menghidupiku sendiri, setelah kepergian Ayah dengan istri barunya. Aku masih ingat benar bagaimana Ibu memberikan perhatiannya kepadaku—yang dulu kuanggap berlebihan itu.

“Apa dulu Nenek sering marah?” Nella kembali bertanya.

Aku menggeleng. Kembali teringat tentang Ibu, dulu. Dia tak pernah marah. Hanya nasehat yang terucap ketika aku tak mau makan, ketika aku tak lekas tidur, atau pun tak mau belajar. Aku dulu anak nakal. Tapi, apa Ibu merasa menyesal telah melahirkanku? Kurasa tidak.

Bodohnya, aku sempat menyesal pernah dilahirkan dari rahimnya. Dari rahim seorang perempuan berpakaian lusuh, bergelut dengan kotoran setiap harinya. Ibuku si Penyapu Jalan.

Pikiranku terlalu kolot untuk menghargai perjuangannya dalam menyekolahkanku. Hingga aku tahu bahwa Ibu rela tidak makan karena menyisihkan sisa makannya untuk sarapan pagiku. Ibu rela meminjam uang kepada siapa pun, asal aku bisa membayar uang sekolah. Hanya satu keinginannya yang selalu ia sebutkan. “Jangan jadi seperti Ibumu”.

“Ma…” Nella menarik lengan bajuku. “Sudah sampai.”

Aku terbangun dari lamunan. Dari kaca jendela mobil terlihat jalanan kecil beriring pohon kelapa. Daunnya melambai, mempersilakan aku untuk berjalan.

****

“Nella duduk di sini dulu, ya.”

Aku berdiri terpaku menatap dedaunan kuning berhamburan setelah mengelupas dari rantingnya. Kumpulan lidi yang menyatu menjadi satu masih hangat di genggamanku.

Aku tak ingin membuang sia-sia waktu yang kumiliki. Langkah dan gerakkan tanganku menyadap sehelai lagi daun kuning tersebut. Satu lagi, satu lagi, hingga terkumpul semua tepat di belakang pohon Pinus besar menaunginya. Korek api serta sedikit minyak tanah tadi kuletakkan terlebih dahulu.

Hari ini aku menunjunginya lagi. Entah berapa tahun beliau telah berada di sini. Kembali pada yang seharusnya.

Aku mengatur tata letak rok bermotif bunga yang kukenakan saat ini. merangkupnya pada sela kedua kaki.

Aku berjongkok di hadapan tanah menggunduk, tepat di hadapanku. Warna coklat kemerahan. Rinai hujan terlihat menggenang pada beberapa titik, aroma segar hujan masih tercium.

Kutatap lekat sebelum tanganku bersindekap. Memori berkejaran pada otakku. Tentang Ibu.

Satu patok kayu dengan cat berwarna putih, tertulis namanya di sana.

“Ibu …,” ucapku lirih. Tersenyum.

Kutautkan kedua tanganku di depan dada. Doa mengalun lembut, menggelitik telingaku sendiri. Menghampiri pelupuk mata, hangat kurasa di kedua sudutnya.

“Aamiin,” ucapku menutup doa.

Kembali pandanganku teralihkan pada satu patok bernama nisan itu. Tak bisa lagi kuhitung hari keberapa aku mengunjungimu, Bu. Di mana pun itu aku bisa merasakan kehadirannya.

Setiap sore aku kemari tak kenal cuaca, hanya untuk menanyakan bagaimana kabarmu? Semoga Ibu baik-baik saja. Aku bisa melihat senyum pada nisanmu. Hangat.

“Bu. Bisakah engkau mendengarku?” ucapku lirih sembari mengelus lembut nisan itu. “Jika ada kehidupan setelah ini. Jika Tuhan memberiku hidup dari awal lagi. Percayalah … aku akan hidup dengan tetap memilih menjadi anakmu. Seperti saat ini. Kuhabiskan sisa hidupku hanya untuk bersamamu.” Aku mendekat, kucium lembut nisannya. Kurasakan kembali bulir hangat merembesi pipi kanan dan kiri.

Aku ingin menjadi anakmu seterusnya. Jika nanti kita bertemu kembali, maukah menjadi Ibuku lagi? Bu…. Aku rindu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun