Mohon tunggu...
Terry Oktav
Terry Oktav Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Libur sebentar dari tulisan. Lagi fokus UN :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayang, Maaf Aku Penulis

6 Agustus 2013   22:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:33 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13758036591456226538

Aku tergelak.“Jadi menurutmu menjadi penulis itu penting?”

“Penting itu relative. Terkadang, apa yang kuanggap penting adalah hal yang diremehkan orang lain.”

****

Ruang kecil berisi dua buah rak buku—penuh—serta satu meja kecil tertata laptop dan mouse di atasnya. Aku tergugu duduk pada kursi kayu kecil di samping pintu.

“Berhentilah!” Untuk kesekian kali aku memperingatkannya.

“Sebentar lagi.” Jawaban yang sama dari lelaki yang tak hentinya berkutat dengan tulisan-tulisan kecil—yang menurutku tak penting—itu.

Aku mulai jengah menemaninya. Pura-pura membaca buku. Sementara itu, ia serius dengan ketukan jemari berirama lamat-lamat, merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraph. Dan semua itu tidak menarik, menurutku.

Ketukan itu berhenti. Kuamati, ia mulai memandang tangannya sendiri.

“Berhentilah, jangan paksa tubuhmu.”

Dia memutar duduknya, mengarah padaku meski dalam waktu tak lama. “Bagi seorang penulis, momen hujan seperti ini tidak boleh dilewatkan.” Dia tersenyum. Jemarinya bergerak bergantian. Seperti senam saja.

“Jadi jika hujan berhenti, kau juga akan berhenti menulis?”

Lagi-lagi aku tak mendapat jawaban. Hanya sebongkah senyum ia lemparkan.

“Baiklah… seharusnya aku tak menanyakan hal yang sama setiap hari.” Aku memalingkan pandangan setelah mendengarnya tertawa kecil.

Jendela dengan tirai rajut berwarna putih menampakkan rinai hujan di baliknya. Sudah separuh umur kuhabiskan untuk menemani lelaki beranjak tua itu. Alang. Aku mulai menyukainya ketika tulisan dari imajinasinya itu merasuk memori otakku. Sejak itu aku tahu, dia berhasil membuat banyak orang—termasuk aku—tertarik dengan cara yang berbeda. Karyanya.

Tapi, mana kutahu jengah mulai menelisik di saat aku merasa pria tua itu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk tulisannya. Dulu aku percaya bahwa aku tak akan bosan menemaninya. Tapi, kini aku sadar bahwa tak ada cinta yang tak kenal kata bosan.

Kembali rinai hujan terdengar tanpa ketukan jemari terdengar. Tangannya berhenti lagi. Kaku.

Aku bangkit berdiri, beranjak dari kursi dan ruang kecil itu.

Tak selang beberapa lama, aku kembali. Aku berdiri di sampingnya, meletakkan pelan secangkir kopi hangat yang baru saja kubuat. “Istirahatlah.”

Dia tersenyum. Mengangguk pelan. “Terimakasih.

Aku mengalihkan kursi kayu di dekatnya. Memandangnya menyeduh kopi. Aku menggenggam tangan Pria tua itu. Memijat jemari, serta telapak tangannya. “Jangan memaksa tubuhmu. Lihat, tanganmu kaku lagi.”

“Aku menulis karena aku ingin.”

Aku tergelak.“Jadi menurutmu menjadi penulis itu penting?”

Alang meletakkan cangkir kopinya. “Penting itu relative. Terkadang, apa yang kuanggap penting adalah hal yang diremehkan orang lain.”

Aku menilik banyak novel karyanya. “Sekarang biarkan tubuhmu istirahat. Kalau tanganmu sudah kaku, maka kamu tidak akan bisa menulis lagi.” Sebenarnya dia sudah mengatur istirahatnya dengan baik, hanya saja aku terlalu khawatir akan tubuhnya semakin tua.

Dia tertawa kecil. Lagi. “Aku tidak janji akan berhenti menulis meski pikiran tak lagi sejalan dengan tangan. Sekalipun tangan sudah tak dapat digerakkan.”

Aku tahu benar, penulis adalah impiannya sejak kecil. Karena baginya seorang pemimpi sejati adalah berani melangkah, mengambil tindakan, bukan hanya omongan belaka.

“Kau sudah berhasil sekarang.” Aku mengangkat cangkir kopi, memberikan kepadanya. Gerimis kecil tergurat di balik kaca jendela.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun