Mohon tunggu...
Terry Oktav
Terry Oktav Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Libur sebentar dari tulisan. Lagi fokus UN :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerimis Kecil di Balik Jendela

11 Agustus 2013   01:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1376161039508961061

“….pada akhirnya kamu berdiri telalu jauh dari kenyataan. Kepada kamu… pria yang diam-diam kukagumi sejak masa putih biru hingga putih abu-abu...”

Aku kembali memandangmu. Sekali lagi suara itu menelisik gendang telinga. Lagi-lagi Stand Up Comedy Raditya Dika membuatmu tertawa. Adakah yang lebih merdu dari suaramu? Meski hanya tawa biasa yang tak sengaja melewati tempat dudukku.

“Murid pintar sepertimu tidak cocok memilih tempat duduk di sini,” celetuk Nova—teman sebangku denganku—kala itu. Ia kembali memperingatkan bahwa murid pintar lebih pantas duduk di depan.

Aku. Gadis berkacamata tebal bak roti lapis empat, berkepang dua dengan gigi berbehel hijau, menambah turun daya pasar perempuan culun lainnya. Aku tahu di mana posisiku. Bukan tanpa alasan aku memilih tempat duduk pojok belakang, tepat di samping jendela kelas. Karena dari sini aku dapat memerhatikanmu dengan baik. Karena dari tempat ini aku bisa memandangmu lebih lama. Karena aku memilihmu menjadi cinta diam-diamku.

Kembali kugoreskan pensil setengah runcing pada kertas gambar baruku. Sudah lebih dari tiga buku gambar kuhabiskan tanpa sisa hanya untuk melukis wajahmu. Dua mata bulat berkacamata, hidung bangir, serta dua lesung pipi yang tak bisa kulupa manisnya wajah itu. Kamu… pria yang diam-diam kucintai sejak masa putih biru hingga putih abu-abu.

Aku sering membayangkan kita berfoto dalam satu frame. Kamu menautkan jemarimu pada jemari tanganku. Kita saling menggenggam. Ah…. Bukankah gila, jika aku membayangkan seseorang yang tak pernah mengharapkanku? Bukankah tidak waras, jika aku selalu mengharapkanmu menjadi kekasih nyata, sedangkan kamu berdiri terlalu jauh dari kenyataan itu? Tapi apa mau dikata, cinta tak pernah punya batas kewarasan. Aku gila karenamu.

Goresan terakhir. Lengkap sudah. Biarkan hari ini aku menyimpan tawamu lagi. Seperti hari-hari lalu, ketika aku diam-diam menikmati senyumanmu. Seperti hari-hari lalu, ketika aku dan kamu berpapasan tanpa kata. Tahukah kamu, aku berharap kamu menoleh, sekadar memberikan sapa kecilmu itu. Sayangnya, kamu terlalu jauh dari kata peka.

Aku menunduk. Mati kutu melihatmu mengalihkan pandangan dari layar laptop ke arahku. Meski aku tak yakin, siapa yang kamu lihat. Semoga bukan aku. Karena jika dalam nyata kau menghampiriku, maka aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku terlalu terbiasa dengan cinta diam-diam, memperhatikanmu sendirian.

“Itu lukisanmu?” Gila! Sejak kapan kamu berjalan cepat. Tiba-tiba saja kamu telah duduk pada bangku kosong di depan mejaku. Dan itu? Buku gambarku di genggaman tanganmu!

“Jadi benar ini lukisanmu?” Kamu mengulang pertanyaan tanpa tahu bahwa aku sudah kehilangan kata-kata karenamu.

Aku mengangguk.

“Kenapa mirip dengan wajahku?” Kamu mengernyitkan alis. Percaya diri sekali berkata begitu. Lihatlah, aku menggigt bibir sekarang.

“Jadi benar kamu menyukaiku?” Kamu menguntai senyum perlahan.

Aku beku. Sungguh beku.

Payah! Beberapa tahun mengamatimu, berharap kita bsa berbincang banyak sejak dulu. Tapi, haruskah aku buang kesempatan besar ini? Iya? Tidak? Iya? Tidak? Tentu saja aku harus mengatakannya.

“Aku bercanda.” Kau menguntai tawa. Berdiri dari kursi itu tanpa menunggu jawabanku. “Aku suka lukisanmu.” Kamu berlalu. Sungguh berlalu, menyisakan aku dan mulut menganga tak jadi berkata.

Bodoh! Seharusnya aku tahu bahwa semuanya hanya bercanda. Kau duduk di hadapanku, tersenyum, menatapku, dan bertanya. Seharusnya aku tahu. Aku dan kamu. Semua tak lebih dari candaan belaka.

Gerimis tergurat di balik jendela kelas. Suatu saat jika kau kembali duduk di hadapanku, tersenyum, dan bertanya… maukah kamu menunggu jawabanku?

Kepada kamu… lelaki bertopi

yang masih sering kulukis wajahnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun