Mohon tunggu...
Dadal Angkoro
Dadal Angkoro Mohon Tunggu... lainnya -

Likes to express myself through words, action and emotion

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

TKI Ilegal – Menantang Badai Demi Keluarga

13 Januari 2015   22:04 Diperbarui: 4 April 2017   17:50 3388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan
Kemiskinan dan pengangguran merupakan kondisi yang ingin dihindari setiap insan berakal di muka bumi. Demikian pula keadaan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 juga berupaya keras untuk mensejahterakan rakyat melalui berbagai program termasuk upaya penciptaan lapangan kerja. Dan penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri menjadi salah satu ujung tombak program pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja, yang pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan tenaga kerja dan masyarakat. Namun apa daya, bentangan tangan pemerintah belum dapat mendekap erat rakyat yang dipimpin dengan tingkat kesejahteraan hingga ke pelosok daerah nusantara.
Di daerah-daerah tertentu terlanjur mendapat predikat daerah tertinggal, dan tidak jarang pula disebut sebagai kantung kemiskinan. Kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia masih menjadi angan-angan yang selalu menghampiri di setiap waktu. Lapangan kerja yang terbatas dan minimnya tingkat pendidikan menjadi tabir yang sulit untuk ditembus. Tiada pilihan bagi masyarakat selain menjalani semua takdir kecuali menjadi kaum urban di kota-kota besar untuk mengejar kesejahteraan dengan melakukan pekerjaan informal. Pilihan lain yang ada dihadapan mereka adalah melakukan perjalanan panjang menjadi tenaga kerja atau pekerja migran di negeri seberang.

Menjadi Pekerja Legal atau Ilegal
Masyarakat tidak dapat mengelak dari realita kehidupan bahwa jumlah pengangguran semakin bertambah dan sempitnya lapangan pekerjaan juga. Bekerja ke luar negeri adalah sebuah pilihan ketika iming-iming gaji yang besar menjadi harapan untuk lepas dari cengkeraman kemiskinan. Pada saat yang sama, terdapat masyarakat dengan tingkat pendidikan serta keahlian tinggi yang juga mengejar sukses dan tingkat kesejahteraan yang setara dengan masyarakat di negara maju.
Pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memberi terminologi pada semua pekerja migran sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), atau sering disebut juga pejuang devisa. Bertolak belakang dengan hal ini, tidak semua pekerja migran ingin disebut sebagai TKI khususnya para pekerja yang memiliki keahlian dan pendidikan tinggi atau sering disebut pekerja profesional, seperti ahli keuangan, IT (information and technology), perminyakan, arsitek dan lainnya. Dalam benak mereka dan hampir seluruh masyarakat bahwa TKI adalah pekerja kasar dengan tingkat pendidikan rendah. Sejatinya seluruh pekerja asal Indonesia yang bekerja di luar negeri disebut TKI terlepas dari yang berpendidikan tinggi atau rendah.
Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, serta produk hukum turunannya, mendefinisikan TKI legal sebagai tenaga kerja yang memiliki visa kerja, kontrak kerja dan KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri). Bila tidak memiliki salah satu dari 3 syarat tersebut, dikategorikan sebagai TKI ilegal. Fakta di lapangan menemukan bahwa terdapat sejumlah besar pekerja profesional yang memiliki visa dan kontrak kerja tetapi tidak memiliki KTKLN, sehingga dikategorikan sebagai TKI ilegal. Mereka mendapatkan fasilitas yang menarik serta gaji tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan sejenis di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan pekerja profesional dimaksud tidak memiliki KTKLN, antara lain, ketidaktahuan, beranggapan bahwa KTKLN hanya untuk TKI alias pekerja kasar, dan merasa tidak perlu serta tidak berguna. Kondisi ini juga ditunjang dengan proses yang tidak mudah untuk pengurusan KTKLN akibat lemahnya koordinasi di antara instansi terkait, serta adanya biaya ekstra yang tidak jelas peruntukkannya.
Pada saat yang sama terdapat masyarakat dengan pendidikan dibawah Sekolah Menengah Atas (SMA) yang juga punya keinginan untuk bekerja di luar negeri. Wawancara dengan responden “Survei Remitansi TKI 2014” mengungkap beberapa alsan untuk menjadi TKI, antara lain, meningkatkan taraf hidup, mencari kerja karena di daerahnya sulit untuk mendapat pekerjaan, dan sekedar mencari pengalaman kerja. Celakanya keinginan tersebut tidak ditunjang dengan upaya untuk menggali informasi maupun pemahaman terhadap prosedur atau tata cara bekerja ke luar negeri. Keadaan ini juga terlihat makin kusut manakala praktek di lapangan menggambarkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk bekerja ke luar negeri tidak sedikit mengingat masyarakat yang hendak menjadi pejuang devisa adalah masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah-bawah. Pada akhirnya, tidak sedikit para calon TKI yang memilih jalur ilegal.
Beberapa pengamatan berdasarkan perbincangan dengan mantan TKI ilegal di Banjarbaru serta Nunukan membuka sedikit tabir alasan menjadi TKI ilegal. Faktor yang turut berperan antara lain; (i) Faktor ekonomi, karena pengurusan seluruh dokumen dari awal hingga akhir membutuhkan biaya yang cukup besar; (ii) Faktor pendidikan, karena tingkat pendidikan para calon TKI umumnya tamatan SD bahkan ada yang tidak tamat sehingga tidak memahami proses yang dirasakan rumit; (iii) Faktor pekerjaan, yakni sempitnya lapangan pekerjaan di daerah mereka.
Fakta yang mencengangkan adalah pengakuan Zulklivi. Salah satu personil band Zivillia yang melejit di blantika musik Indonesia dengan lagunya “Aisiteru”. Zulklivi adalah mantan TKI yang pernah berjuang di negeri Sakura di pabrik baja. Melalui proses yang berliku akhirnya Zulklivi dapat menjejakkan kaki di negeri matahari terbit. Kerja keras selama 3 (tahun) ternyata belum dapat meraih harta yang diimpikan hingga akhirnya membuat Zulklivi beralih menjadi TKI Ilegal sebelum pada akhirnya takdir menentukan lain.

TKI Ilegal – Sebuah Pilihan & Masalah yang Dihadapi
Bekerja di negeri orang untuk menjadi TKI adalah sebuah pilihan, namun tidak berarti TKI ilegal juga sebuah pilihan. Ada kalanya menjadi pejuang devisa ilegal adalah sebuah pilihan tetapi pada kondisi lain menjadi sebuah keterpaksaan demi mengejar kesejahteraan. Kerap kali ditemukan bahwa para calon TKI atau TKI yang menjumpai masalah adalah ilegal meskipun pemerintah dan instansi terkait telah berulang kali melakukan tindakan.
Pada Januari 2014 Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) menahan puluhan calon TKI yang rata-rata masih di bawah umur dan tidak berdokumen lengkap. Para calon pejuang devisa tersebut rencananya akan diberangkatkan secara ilegal oleh satu perusahaan lokal. Diberitakan pula bahwa kebanyakan dari TKI ilegal tersebut dibujuk dengan gaji besar. Tetapi tidak sedikit pula yang hanya menuruti perintah orangtua. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT mengungkapkan bahwa banyak TKI ilegal baru teridentifikasi setelah ada kasus. Setali tiga uang, di daerah lain juga juga masih banyak masyarakat yang lebih memilih menjadi TKI ilegal. Bupati Kabupaten Sambas, pernah menyatakan bahwa jumlah TKI ilegal di Malaysia asal Sambas bisa mencapai puluhan ribu orang meski yang tercatat resmi atau TKI legal hanya 6.000 orang.
Proses amnesti di Arab Saudi pada 2013 bisa memberi sedikit gambaran tentang TKI ilegal. Salah satu pemburu valuta ilegal yang telah lebih dari 10 tahun berada di Arab sebagai pengemudi mengemukakan kekuatirannya bila tertangkap maka tidak dapat kembali. Sementara penghasilannya selama ini cukup lumayan tanpa ada proses birokrasi yang berbelit sebagai TKI ilegal. Seorang TKI ilegal lainnya juga turut mengaminkan pernyataan tersebut. Menurutnya bekerja di Arab Saudi walau sebagai pekerja migran ilegal tetap memberi harapan karena penghasilan yang didapatkan relatif baik. Dikatakannya bahwa banyak pula TKI ilegal yang masuk ke Arab Saudi dengan menyalahgunakan visa umrah. Survei TKI 2014 yang dilakukan Bank Indonesia (BI) bersama BNP2TKI juga mengkonfirmasi kondisi demikian, khususnya di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Hal ini memberi bukti bahwa koordinasi antar instansi terkait TKI masih terpenggal-penggal.
Cerita lain juga muncul dari seorang pekerja migran ilegal di Taiwan yang meengungkap bahwa penghasilan yang diterima saat kontrak 3 (tiga) tahun sebagai TKI legal sangat kecil karena habis dipotong oleh agen. Daripada menanggung malu dan beban bila kembali ke Indonesia, maka TKI tersebut memilih untuk tetap berjuang menjadi TKI ilegal. Dan dewi Fortuna masih berpihak kepadanya karena mendapatkan majikan yang baik dan selama hampir 6 (enam) tahun menjadi TKI ilegal gajinya semakin meningkat. Namun sebagai pekerja ilegal ruang geraknya menjadi sangat terbatas karena kuatir tertangkap mengingat adanya peraturan yang ketat di Taiwan. Dibalik keberuntungan tersebut terdapat pula ujian yang sangat berat yakni saat orang tua kandungnya meninggal dunia dan hanya bisa meratap di negeri orang.
Serupa dengan kasus di Taiwan, Minister Counselor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Jepang pernah menyatakan bahwa keberadaan TKI ilegal di Jepang disebabkan oleh banyak perusahaan di Jepang mencari tenaga kerja Indonesia yang dikenal rajin dan bertanggungjawab. Faktor lain adalah proses untuk bekerja di Jepang memang rumit, sehingga banyak orang Indonesia ambil jalan pintas yakni ilegal. Menurutnya, TKI ilegal di Jepang sebagian besar adalah mantan pemagang di Jepang yang umumnya bekerja di bidang konstruksi dan otomotif dan sudah tahu mengenai kebaikan dan kemudahan di Jepang. Hal ini juga diakui oleh Heri yang merasakan bahwa jalur resmi dengan persyaratan yang lumayan berat, ternyata tidak sebanding dengan gaji yang didapat (Berita Satu, 31/10/13). Sebagai pekerja ilegal Heri dapat menabung 100 juta selama 3 (tiga) bulan. Tetapi saat mengalami kecelakaan kerja, perusahaan tidak bertanggung jawab karena tahu bahwa status Heri adalah ilegal.
Masalah yang dihadapi para pejuang devisa ilegal tidak berhenti sampai disini, karena daftar kasus yang dihadapi oleh peraih mimpi via jalur ilegal masih sangat panjang. Jumhur Hidayat mantan Kepala BNP2TKI pada 2013 pernah dalam 2 (dua) tahun sejak didirikan, pusat layanan pengaduan Crisis Center BNP2TKI menerima 12.270 pengaduan, dengan 10 negara dengan tingkat pengaduan TKI paling tinggi yakni Arab Saudi, Malaysia, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Suriah, Taiwan, Kuwait, Singapura, Qatar, dan Oman. Tragisnya, permasalahan yang dihadapi para TKI bukan sekedar kerugian finansial atau kekerasan fisik semata, tetapi hilangnya nyawa.

Akar permasalahan TKI Ilegal
Kompleksitas TKI ilegal tidak akan dapat dirasakan bahkan tidak terbayangkan bila hanya dipandang dari satu perspektif. Jangankan berbicara tentang masalah yang dihadapi, angka pasti TKI ilegal-pun tidak pernah diketahui dengan pasti. Tetapi melangkah mundur adalah suatu kesia-siaan maka adalah suatu keharusan untuk semua pihak terkait tenaga kerja mau duduk bersama dan mulai mengurai benang kusut yang ada. Memandang keruwetan TKI ilegal memang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan masyarakat sebagai individu maupun pemerintah memiliki peranan penting untuk melindungi warga negaranya sekaligus sebagai salah satu solusi dalam perekonomian.
Langkah pertama yang perlu dilihat secara jernih adalah sikap pemerintah dalam menentukan arah kebijakan TKI secara umum maupun TKI ilegal. Hal apa yang menjadi prioritas kebijakan terkait TKI; Apakah TKI sebagai sumber devisa yang turut menopang perekonomian atau TKI sebagai subyek kedaulatan negara dalam hal ini perlindungan warga negara. Pemilihan prioritas tersebut akan menjadi dasar dari seluruh kebijakan yang terkait dengan TKI mulai dari faktor pendidikan, sosial, budaya dan hal lain yang melingkupi.
Langkah berikut setelah penentuan prioritas adalah pemilahan sasaran yang diharapkan dapat diraih, apakah sasaran yang dituju adalah pihak eksternal (luar negeri) atau dalam negeri. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan matang agar penjabaran kebijakan yang didesain oleh masing-masing instansi terkait dapat fokus dan terarah pada sasaran yang sama sehingga saling menguatkan.
Dari perspektif eksternal, permasalahan TKI legal maupun legal sarat dengan kepentingan antar negara yang saling berbenturan. Sumber masalah yang sangat nyata tiadanya produk hukum yang melindungi tenaga kerja asing pada negara-negara tertentu. Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini juga patut diperhatikan karena realitas di lapangan adalah pembiaran pelanggaran hukum terhadap oknum perusahaan atau warga negara asing di negaranya sendiri dengan mengabaikan hak atau perlindungan warga negara asing. Badan Amnesti Internasional dalam laporannya menyebutkan dengan jelas bahwa tenaga kerja asing dipukau oleh janji penghasilan tinggi tetapi akhirnya berujung pada eksploitasi. Namun demikian bukan berarti negara yang telah memiliki produk hukum yang ketat seperti Jepang, Korea dan Taiwan tidak terdapat kasus TKI ilegal. Akhirnya hal ini menguatkan pentingnya sasaran yang diarahkan ke luar negeri, yakni dengan kerjasama antar negara dalam penyelesaian masalah TKI ilegal, termasuk di dalamnya aspek pencegahan.
Daftar sumber masalah di dalam negeri juga tidak kalah panjang bila terkait dengan keberadaan TKI ilegal. Satu hal mengait dengan hal lain dan jarang dilihat sebagai satu kesatuan sehingga permasalahan TKI terlihat bagai benang kusut. Bila semua pihak mau berlapang dada untuk mengakui bahwa ujung pangkal dari masalah TKI adalah tingkat kesejahteraan yang belum merata dan jurang perbedaan yang kian lebar antara sekelompok kecil masyarakat dengan sebagian besar penduduk Indonesia. Keadaan tersebut pada gilirannya menciptakan bola salju kemiskinan, yang secara otomatis menarik permasalahan lain seperti pendidikan dan kesempatan kerja.
Pada saat yang sama, perilaku individu yang cenderung nekat dan abai juga turut berperan membidani lahirnya TKI ilegal. Resiko yang tinggi yang dapat mencelakakan diri menjadi satu-satunya pilihan yang masuk akal untuk menggapai kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan berdiam diri dalam kemiskinan. Peranan pemerintah untuk memberi pemahaman kepada para calon pejuang devisa terhadap eksistensi serta konsekuensi TKI ilegal menjadi penting. Jangan terjadi lagi dimana para pejuang ilegal baru berteriak lantang dan cenderung mengkambinghitamkan pemerintah bila sudah terlibat masalah akibat perbuatannya sendiri sebagai pekerja ilegal. Pemerintah wajib hukumnya untuk membangun suatu infrastruktur yang memadai.

Menantang Badai demi Keluarga
Mengadu nasib di negeri orang memang tak selalu indah sesuai harapan. Kejadian buruk yang menimpa TKI ilegal telah berulangkali terjadi. Dan fakta menunjukkan bahwa banyak warga negara Indonesia yang mencari peruntungan di luar negeri, khususnya di sektor informal, hanya diperlakukan sebagai obyek yang dapat diperas dan dieksploitasi oleh oknum-oknum di dalam maupun luar negeri. Perlakuan diluar kewajaran mengingatkan kita semua pada romusha pada jaman penjajahan Jepang. Semua pihak tidak dapat menyangkal bahwa para pahlawan devisa memiliki kontribusi yang tidak kalah penting dalam menopang perekonomian Indonesia. Sayangnya realitas menunjukkan sisi kekejamannya yakni tiada perbaikan pada perlindungan terhadap mereka bila tidak ingin dikatakan tidak ada. Yang tersisa adalah tiadanya pilihan kecuali menantang badai demi keluarga yang dicintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun