Mohon tunggu...
Humaniora

Pembelaan terhadap Ahok

9 November 2016   16:55 Diperbarui: 9 November 2016   17:13 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Halo kawan-kawan saya tercinta, sebangsa dan setanah air, baik yang Muslim maupun yang kafir. Pertama-tama, sebagai orang Kristen, saya ingin minta maaf atas sikap Ahok baru-baru ini, yang telah lumayan menggoncang Indonesia dengan pernyataannya. Saya sendiri tidak menyembunyikan bahwa saya nge-fans sama Ahok; tadinya saya suka dengan gayanya yang tegas dan blak-blakan menghadapi orang-orang munafik yang sok santun, tapi belakangan saya akui bahwa ia mulai kebablasan. Ia terlambat menyadari bahwa masyarakat Indonesia masih kurang kritis, kurang berkepala dingin, dan mudah salah paham. Kenapa saya bilang “terlambat?” Karena ia baru sadar ketika orang-orang yang patut dihormati di negeri ini pun ikut menegurnya dengan keras, semuanya mengakui bahwa sikapnya tak bijaksana, dan banyak orang marah dan bahkan mengancam akan membunuhnya. “Terlambat” juga berarti bahwa sekarang ia sudah sadar; buktinya ia sudah minta maaf, dan berjanji tidak akan lagi menyinggung-nyinggung ayat kitab suci. Eh, tapi kenapa saya bilang “masyarakat Indonesia [yang] masih kurang kritis, kurang berkepala dingin, dan mudah salah paham?” Bukankah Ahok yang salah, sehingga reaksi itu wajar? Tidak, saya tegaskan. Dan akan saya jelaskan mengapa. Sikap Ahok kurang bijaksana karena yang dihadapinya adalah orang-orang yang demikian, tapi sebenarnya ‘kalau kita mau fair’, Ahok sebenarnya tidak bersalah. Akan saya jelaskan mengapa Nusron Wahid, Quraish Shihab, dan beberapa tokoh Islam lain tidak tersinggung oleh pernyataan Ahok.

Berikut kutipan pernyataan Ahok, sejauh relevan dengan kontroversi dan hiruk-pikuk yang sedang terjadi mengenai dugaan bahwa ia telah melakukan penistaan agama.

“Jadi Bapak-Ibu gak usah kuatir, . . . jadi kalau saya tidak terpilih pun . . . Bapak-Ibu masih sempat panen sama saya, sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. . . . Jadi gak usah pikiran ‘Ah, nanti kalo gak kepilih, pasti Ahok programnya bubar.’ Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil Bapak-Ibu gak bisa pilih saya. Iya kan, dibohongin pake surat Al-Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi kalo Bapak-Ibu perasaan ‘Gak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka’, dibodohin gitu ya. Gak apa-apa. Karena ini kan panggilan pribadi Bapak-Ibu. Program ini jalan saja.”

Jadi intinya Ahok menegaskan bahwa warga (Kepulauan Seribu) tidak usah khawatir: Kalaupun Ahok tidak terpilih lagi menjadi gubernur DKI Jakarta, warga sudah sempat menikmati program yang akan diselesaikan Ahok sebelum masa jabatannya selesai. Bahkan, warga tidak usah merasa tidak enak di hati karena tidak memilih Ahok meskipun sudah menikmati program yang dilaksanakan oleh Ahok (dalam artian ‘tidak tahu berterima kasih’), karena memang sudah merupakan hak warga untuk menikmati program pemerintah. Intinya begitu. Tapi Ahok juga menyisipkan suatu ironi: Ada pertentangan hati nurani di benak warga (Muslim). Di satu sisi, mereka ingin berterima kasih pada Ahok dan ingin Ahok terus melaksanakan program-program yang menguntungkan mereka. Di sisi lain, mereka tidak bisa melakukannya karena larangan agama untuk memilih pemimpin Non-Muslim.

Perlu dipahami bahwa sikap Ahok itu muncul dari frustrasinya selama ini karena seberapapun ia berbuat baik, tulus, dan kompeten, banyak orang yang hanya mempermasalahkan agamanya. “Coba kalau Anda masuk Islam.” Saran itu sering didengar Ahok dari rekan-rekan politisi. Sikap orang (Muslim) Indonesia ini memang sudah membuat banyak orang masuk Islam hanya demi jabatan, tapi toh moralnya tidak menjadi lebih baik. Misalnya Setya Novanto, anggota DPR yang daerah asalnya termiskin di Indonesia itu. Dalam berbagai kesempatan, Ahok sendiri sudah menegaskan bahwa ia tidak akan pindah agama hanya demi jabatan ataupun kemulusan menjadi seorang politisi, dan malah mengingatkan bahwa orang yang demikian justru tidak dapat diandalkan. “Tuhan saja dikhianatinya demi keuntungan pribadi, apalagi cuma rakyat yang sudah memilihnya,” begitulah pesan Ahok untuk direnungkan masyarakat Indonesia.

Kembali ke pernyataan Ahok. Kawan-kawan, harus saya tegaskan bahwa pernyataan “dibohongin pake surat Al-Maidah 51,” atau mari kita generalisasikan saja menjadi “dibohongin pake Al-Qur’an” sama sekali tidak menghina Islam ataupun kitab sucinya. Mengapa? Kata “pake” memang krusial di sini. Seandainya kata itu diganti dengan “oleh” ataupun dihilangkan, maka kalimat itu benar-benar menjadi penghinaan langsung terhadap Islam, karena menyatakan bahwa Al-Qur’an itu menipu. Itulah sebabnya si provokator, yang tidak perlu saya sebutkan namanya, sengaja menghilangkan kata itu. Saya pikir, kesengajaannya itu sudah cukup jelas menunjukkan adanya niat jahat sehingga ia dapat dipidanakan. (Sekarang pun, seseorang bisa memelintir isi artikel saya ini, sehingga seakan-akan saya menyatakan bahwa Al-Qur’an itu menipu.)

Dalam kalimat itu, Ahok hanya mengingatkan bahwa ada orang-orang yang memakai ayat kitab suci untuk membohongi orang lain. Yang mana ini memang kerap terjadi, lazim dari masa ke masa. Soalnya, seringkali suatu ayat kalau tidak dipahami konteksnya dan makna kata-per-katanya dalam bahasa aslinya, memang mudah disalahpahami. Pemahaman yang benar terhadap kitab suci sendiri bukanlah hal yang mudah bagi semua orang. Makanya ada para ahli agama yang mendedikasikan banyak waktu dan tenaga mereka untuk dengan teliti memahami dan menafsirkan kitab suci. Orang-orang awam tinggal mendengarkan saja penjelasan dari para ahli ini. Tapi situasi ini justru sering disalahgunakan. Para ahli agama membuat tafsiran-tafsiran ngaco atas kitab suci, dan orang-orang awam percaya begitu saja. Itulah sebabnya saya menghimbau kawan-kawan, baik Muslim, Kristen, maupun agama apapun, untuk jangan selalu percaya begitu saja pada para pemuka agamamu. Siapa yang tahu, mereka mungkin sedang menipumu! Anda perlu bersikap kritis dan menyelidiki sendiri.

Jadi kenapa banyak pihak tetap menganggap Ahok telah melakukan penistaan agama? Nah, di sinilah semuanya menjadi menarik, dan bahkan telah menarik Indonesia ke dalam situasi kritis! Sesungguhnya, keutuhan bangsa Indonesia sedang di ujung tanduk! Mari kita lihat isi surat resmi sikap MUI soal pernyataan Ahok; saya kutip saja kelima poin sikap keagamaannya.

  1. Al-Quran surah al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non Muslim sebagai pemimpin.
  2. Ulama wajib menyampaikan isi surah al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah wajib.
  3. Setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin.
  4. Menyatakan bahwa kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.
  5. Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.

Mari perhatikan kembali pernyataan Ahok secara seksama. Meskipun ia tidak secara umum menyatakan bahwa Al-Qur’an itu menipu, secara implisit ia telah menyatakan bahwa penafsiran tertentu atas Al-Maidah 51 adalah kebohongan. Penafsiran apakah itu tepatnya? Ya tafsiran “Gak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka,” atau dengan kata lain, tafsiran bahwa Islam melarang seorang Muslim memilih seorang Non-Muslim sebagai pemimpinnya. Dengan pemahaman ini mengenai pernyataan Ahok, kita langsung dapat melihat dengan jelas alur logis dalam kelima poin sikap MUI. Tafsiran MUI atas ayat Al-Maidah 51 adalah bahwa memang Islam melarang seorang Muslim memilih seorang Non-Muslim sebagai pemimpinnya. Berangkat dari situ, MUI menyimpulkan bahwa dengan menyatakan tafsiran yang demikian sebagai kebohongan, Ahok telah menghina ulama MUI pada khususnya, dan Islam pada umumnya.

Sebelum saya melanjutkan, saya ingin menekankan lagi apa yang baru saja saya terangkan karena nyatanya banyak orang yang salah paham akan perkara ini. Pernyataan Ahok bahwa masyarakat bisa saja “dibohongin pake Al-Maidah 51” tidaklah serta-merta menjadi dasar (paling tidak bagi MUI) untuk menyatakan bahwa Ahok telah menghina Islam. Lagipula, sudah jelas secara linguistik dan logis bahwa pernyataan ini tidak menghina Islam. Misalnya, saya bisa mengatakan bahwa “Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi udah bohongin banyak orang pake ayat-ayat Al-Qur’an.” Saya yakin seorang Muslim yang punya akal sehat tidak tersinggung dengan pernyataan saya barusan (kecuali kalau Anda pengikut salah satu dari mereka berdua), karena yang saya kecam ialah kedua orang itu, bukan alat yang mereka pakai. Justru saya menekankan bahwa kejahatan mereka menjadi semakin jahat karena mereka dengan sengaja memanfaatkan isi kitab suci, memelintir maknanya demi kepentingan pribadi mereka. Ada yang berkomentar bahwa “seandainya Ahok menyusun kata-katanya dengan lebih baik, misalnya mengatakan ‘dibohongin pake tafsiran yang keliru dari ayat Al-Maidah 51’, maka ia tidak akan dituduh telah menista agama.” Saya tekankan bahwa kalau kita berpatokan pada pernyataan MUI, maka usul ini sebenarnya tidak relevan. Seandainya pun Ahok pada waktu itu memang menggunakan kalimat yang lebih eksplisit itu, kelima poin tanggapan MUI tidak perlu diubah sedikit pun. MUI berpegangan pada pandangan bahwa tafsiran itu tidak keliru, dan menegaskan bahwa seorang ulama wajib menyampaikan tafsiran itu pada pengikutnya. Jadi kalau Anda tidak setuju dengan paham itu, Anda tidak usah tersinggung oleh pernyataan Ahok.

Nusron Wahid (sekilas info: ia adalah ketua GP Ansor dalam 2011-2015, jadi bukan anak ingusan yang sembarang komentar tentang Islam), yang tidak setuju dengan penafsiran itu, dalam acara ILC menyatakan bahwa “Orang Islam itu biasanya kalo ribut, disebabkan oleh [salah satu dari] dua hal: Kalo bukan salah paham, pahamnya yang salah.” Dalam perkara Ahok ini, setelah memperhatikan tanggapan masyarakat dan berbagai tokoh, saya menyimpulkan bahwa kedua kategori itu menjadi satu: Mereka yang salah paham ternyata pahamnya salah, dan mereka yang pahamnya salahlah yang salah paham, yaitu mereka yang tersinggung oleh ucapan Ahok. Mereka yang marah pada Ahok, seperti FPI dan MUI, adalah mereka yang percaya bahwa memilih pemimpin Non-Muslim itu haram. Sedangkan orang-orang Muslim yang sama sekali tidak tersinggung oleh pernyataan Ahok, seperti Nusron Wahid dan Quraish Shihab, ialah mereka yang tidak percaya bahwa memilih pemimpin Non-Muslim itu haram, dan tidak setuju dengan tafsiran MUI yang demikian atas ayat Al-Maidah 51. Sebenarnya sih, ada juga yang abu-abu. Misalnya ketua PBNU Said Aqil percaya akan tafsiran demikian atas ayat Al-Maidah 51, tapi karena ia sadar bahwa fatwa resmi NU ialah bahwa memilih pemimpin Non-Muslim itu dibolehkan selama orang tersebut tidak dianggap menjadi ancaman bagi umat Islam, maka ia melunak dan memaafkan Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun