Penulis tak ubahnya seorang peternak, sebanding dengan peternak ayam, kelinci, kambing, atau lainnya? Benar. Prinsip beternak buku sama dengan beternak lainnya. Dalam beternak buku, sang peternak juga dituntut untuk mencari bibit unggul, memberi pakan, memijahkan, dan menjual hasil ternaknya. Mencari Bibit Unggul artinya sang penulis mencari ide-ide unggul/cemerlang/berkualitas. Penulis tidak boleh mengandalkan ide jatuhan/wangsit dari langit. Peternak buku aktif mencari tema-tema yang dibutuhkan khalayak, agar ternaknya jadi best seller.
Peternak buku juga Memberi Pakan, yang diberi makan adalah jiwa dan otaknya. Pakan yang diberikan adalah pergaulan, refreshing, dan membaca. Jika otaknya kosong, tidak ada yang bisa ditulisnya. Memijahkan, percaya atau tidak, buku yang sudah dihasilkan cenderung memperbanyak diri-beranak pinak. Menjual Hasil Ternak, tentu penulis tidak ingin menyimpan karyanya untuk dirinya sendiri. Peternak Buku harus bisa menjual ternaknya, baik kepada PENERBIT atau DITERBITKAN SENDIRI sebagai BUKU, CD, atau E-BOOK (buku elektronis).Lalu, bagaimana agar buku kita jadi Passive Income abadi? Bayangkan saja para pujangga semacam Pramudya Ananta Toer, Marah Rusli, Armyn Pane, Hamka, atau lainnya. Ahli Warisnya mendapat Passive Income karena karya mereka masih diterbitkan. Buku akan diterbitkan terus jika dianggap Strategis di Mata Pasar, dalam arti selalu dibutuhkan orang. Buku-buku seperti itu akan menjadi Passive Income Abadi bagi penulisnya. Bandingkan dengan pelukis, sekali lukisannya dibeli kolektor maka dia sudah tidak punya hak apa-apa lagi terhadap karyanya tersebut. Beda dengan penulis, sepanjang dia tidak menjual putus karyanya maka buku itu akan selalu memberi pemasukan kepadanya. Royalty bukunya bisa Diwariskan kepada anak cucunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H