[caption caption="Mantan PM Denmark (Helle Thorning-Schmidt) dan jajaran menterinya naik sepeda ke kantor (Foto: www.cyclestyle.com.au)"][/caption]Transparancy International, sebuah organisasi antikorupsi global, menetapkan Denmark ranking 1 dunia sebagai negara “bebas korupsi”. Tak tanggung-tanggung, predikat negara “bebas korupsi” di muka bumi ini dsandang oleh Denmark untuk 5 (lima) tahun berturut-turut, yaitu tahun ini (2016); 2015; 2014; 2013 (bersama New Zealand); dan 2012 (bersama New Zealand dan Finlandia).
Aneh bin janggal, Denmark, mungkin “satu satunya” negara di dunia yang tak ada komisi atau lembaga atau badan atau institusi antikorupsi semacam KPK (Indonesia); FBI, Trade Compliance Center, dan Securities and Exchange Commission (Amerika Serikat); Fighting Corruption – Fostering Transparency (Jerman); Tribunal de Grande Instance de Paris (Perancis); dan Independent Commission Against Corruption (Hong Kong).
Tambah aneh lagi, ternyata pemerintah dan DPR (parlemen) Denmark “tak pernah” berpikir untuk membuat komisi, lembaga atau badan antikorupsi dan semacamnya. Mungkin mereka bilang, “Emang gue pikirin?” Anda pasti bertanya-tanya, “Loh… kok bisa?” Untuk menjawab keheranan Anda, ikuti cerita berikut.
Saya: Beberapa hari lalu aku kehilangan dompet
Nenek (usia 78 tahun): terus?
Saya: Ketemu, tergeletak di ruang umum selama 3 hari. Ruang tersebut banyak orang lalu lalang.
Nenek (usia 78 tahun): terus !?
Saya: Mengejutkan!
Nenek (78 tahun): Terus… apanya yang mengejutkan?
Saya: Isinya masih utuh. Komplit, tak ada yang hilang, termasuk uang.
Nenek (78 tahun): Itulah anak jaman sekarang!
Saya: Apanya yang itulah dengan anak jaman sekarang?
Nenek (78 tahun): Kalau saya mah…!
Saya: Terus?!
Nenek (78 tahun): Saya buka itu dompet!
Saya: Terus?!
Nenek (78 tahun): Saya cari kartu identitas Anda!
Saya: Terus?! (Batinku, mau diapain sih kartuku sama si nenek ini?)
Nenek (78 tahun): Kan ada alamatnya…. Saya akan antar dompet Anda ke rumah. Begitulah orang Denmark ketika saya muda dahulu.
Prinsip hidup orang Denmark adalah mengambil hak milik orang lain merupakan perbuatan tercela, apalagi mengambil harta negara (korupsi). Antikorupsi adalah sikap dasar masyarakat yang sudah mendarah daging.
Saya lanjutkan cerita kedua. Cerita ini saya dapatkan langsung dari diplomat Indonesia yang sedang bertugas di Denmark. Sang diplomat mendapatkan cerita dari diplomat sebelumnya. Semacam cerita turun-temurun. Seperti biasa, tiap 17 Agustus, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) mengundang ratu dan PM Denmark untuk hadir.
Tak seperti biasa, tiba-tiba PM Denmark ingin menghadiri upacara penaikan bendera kemerdekaan RI. Karena senang, pak duta besar menghubungi Jakarta. Saat itu masih Orba, jadi nuansa militer sangat terasa. Terjadi komunikasi intens antara Jakarta (Istana Presiden) – KBRI dan Kantor PM Denmark. Jakarta ingin mengirimkan “Paspamres” untuk mengamankan gedung KBRI saat kunjungan PM Denmark.
Tentu saja, hal ini membuat PM Denmark terheran-heran karena negaranya termasuk negara paling aman di dunia. Singkat cerita, Jakarta tak perlu mengirimkan pasukan keamanan. Presiden Suharto hanya mengutus staf khusus.
Karena PM yang mau hadir, dilatihlah sepasang penyambut tamu yang berpakaian nasional. Cowok dilatih membuka pintu mobil, sedangkan cewek dilatih mengalungkan bunga. Akhirnya, tibalah hari H. Ada dua orang menekan tombol bel kantor KBRI. Satu orang mengaku PM Denmark, satu orang lagi mengaku ajudan PM.
Duta besar, diplomat dan masyarakat Indonesia yang hadir terkaget-kaget. Penyambut tamu yang dilatih membuka pintu mobil (latihannya berhari-hari dengan berbagai jenis mobil yang diperkirakan akan dikendarai PM Denmark: Volvo, Mercedez, BMW sampai Limousine), hanya bisa melongo (mulut terbuka lebar!). Duta besar kemudian menghubungi kantor PM. Terjadi dialog kira kira begini!
Duta besar: Ini ada dua orang, satu mengaku PM dan satu lagi ngaku ajudannya.
Kantor PM Denmark: Emangnya kenapa?
Duta besar: Soalnya mereka naik sepeda.
Kantor PM Denmark: Emangnya mereka harus naik apa? (Suaranya seperti orang bingung… apa yang salah dengan naik sepeda?)
Sebelum diadakan pemilihan, ada semacam panel yang “menelanjangi” calon pejabat publik (anggota parlemen, walikota, dan PM). Semua data mulai dari lahir sampai ke waktu mengajukan berkas pencalonan akan dibongkar habis. Data, mulai dari yang besar (apakah membayar pajak, jumlah hutang, jumlah rumah, tabungan, dan sebagainya) akan dicek dengan seksama. Bahkan yang kecil pun seperti jumlah “uang jajan” selama sekolah akan diketahui publik. Tak ada yang bisa disembunyikan dari publik.
Artinya, hanya yang “bersih suci” yang akan dipilih oleh rakyat. Jadi, untuk apa ada KPK di Denmark? (Bahkan, buang waktu saja memikirkannya!).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H