HELLO AGAIN EVERYONE...
Balik lagi bareng aku Nisa, di tulisan kali ini aku bakalan me-review film dokumenter yang berjudul "Bebenjangan".Â
Jadi, pada hari Sabtu, 24 Februari 2024 kami berkumpul di fakultas FPSD. Aku dan teman-teman kelompok reak yang dari Augusta sampai terlebih dahulu di fakultas FPSD dan menuju ke ruang besar FTV. Saat masuk saya melihat LO kami sedang mempersiapkan device untuk nonton nanti.Â
Sembari menunggu kami diberikan kue dan pastel yang enak. Sehari sebelum kegiatan tersebut kami sudah di beritahu bahwa film dokumenter yang akan kami tonton berjudul "Bebenjangan" dan jujur saya sama sekali tidak mengetahui apa itu Bebenjangan. Akhirnya setelah menunggu beberapa menit film pun mulai diputar.Â
Pada bagian awal film aku merasa sedikit terkejut, karena penampilan dan atraksi yang di tunjukkan dalam beberapa adegan sedikit seram menurutku pribadi. Seperti ada yang memakan beling dan juga lumpur. Tapi, memasuki pertengahan film aku jadi mengerti mengenai tujuan dan hal apa yang di angkat oleh film dokumenter ini.Â
Film dokumenter "Bebenjangan" mengangkat isu mengenai beberapa oknum organisasi kesenian yang mulai melenceng ke kekerasan seksual. Sebagai seorang perempuan aku merasa sedikit marah saat melihat adegan-adegan tak senonoh yang dilakukan oleh beberapa oknum.Â
Mereka mengambil keuntungan dengan dalih kerasukan untuk mendekati perempuan-perempuan. Dan beberapa oknum juga menggunakan alkohol dalam pertunjukan kesenian. Setelah film tersebut selesai, sutradara film Bebenjangan yaitu teh Belva Atsa, turut hadir dalam kegiatan kami.Â
Aku sangat kagum dengan beliau, karena ternyata film Bebenjangan di buat pada saat ia semester 3, sangat luar biasa. Teh Belva menyapa kami dan melakukan perkenalkan. Kamipun diberikan kesempatan untuk bertanya kepada teh Belva mengenai film Bebenjangan. Beberapa teman-teman kelompok Reak pun bertanya seperti kendala apa yang dialami saat membuat film tersebut, dana yang dikeluarkan untuk membuat film, peralatan syuting dan tentunya mengenai Bebenjangan itu sendiri dan beberapa kesenian serupa.Â
Dari pertanyaan dan pernyataan teman-teman kelompok reak saya juga jadi mengetahui bahwa ternyata di daerah lain di seluruh Indonesia juga terdapat kesenian yang mirip. Teh Belva sendiri menceritakan kesulitan yang dihadapi dalam membuat film Bebenjangan, contohnya karena rata-rata kru nya adalah perempuan dan mereka mengangkat isu mengenai kekerasan seksual, mereka juga harus berhati-hati dalam mengambil beberapa video secara langsung. Setelah sesi tanya jawab akhirnya kami pun mengambil beberapa foto bersama.
Menurut aku pribadi, film Bebenjangan ini sudah sangat bagus dan pesan yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Hanya saja, mungkin di awal film perlu ada peringatan bahwa film ini untuk 18 tahun ke atas, karena terdapat beberapa adegan yang kurang cocok di pertontonkan untuk anak di bawah umur. Aku sendiri sangat berterimakasih kepada Pak Essa, Kang Seno dan Teh Deti yang sudah memfasilitasi kami sehingga aku sendiri bisa mengetahui mengenai kesenian-kesenian ini dan beberapa isi yang terdapat saat ini.