Mohon tunggu...
Fahmi Ulum
Fahmi Ulum Mohon Tunggu... Peternak -

Peternak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Terbaik

6 Mei 2014   00:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bagiku suara terbaik itu ketika mendengar lipatan lembaran buku yang terbalik dari satu halaman ke halaman yang lain. Sreek.. sreek.. sreek.. Tumpuk benda tipis yang kau sebut kertas itu sekarang menjadi bagian hidupku.

Aku teringat dulu saat kau datang dengan mengembalikan buku usang yang kau ambil dari kamarku. Aku pun tidak tahu buku itu milik siapa. Sejak kedatanganku pertama kali, ada beberapa barang lama yang belum sempat terbawa atau mungkin sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya. Termasuk buku yang kau pinjam itu.

Mungkin aku terlalu muda saat itu, atau mungkin kau yang sudah cukup tua. Setelah tiga bulan kau datang, perkenalan, cerita, dan beberapa pelajaran kecil mewarnai hariku. Saat itu kau datang ke kamarku, melihat-lihat, dan tatapan matamu terkagetkan oleh tumpukan buku yang tak tahu harus ku apakan.

Kau membawa salah satunya, selang dua hari kau kembali dan berkata, "Kau harus baca ini!". Aku menurut saja, akhirnya diskusi-diskusi ringan kita berganti arah yang kelak memberi gambaran akan arti semua ini.

Setelah saat itu, aku sering pergi ke kota hanya untuk tumpukan kertas yang berjilid itu. Entah apa yang tertulis di dalamnya, entah apa maksud dari judulnya. Semua ku beli bergiliran.

--

Aku sangat ingat betul siapa yang pertama kali memakai gitar pertamaku. Tak kusangka, jari-jari kurusmu bisa menjentikkan nada-nada aneh di telingaku saat itu. Siapa sangka, tiga bulan berselang nada-nada aneh itu sudah familiar di jari dan lidahku.

Bersama yang lain, di teras lantai dua itu, kita habiskan ujung senja sampai kemerlip bintang yang bertaburan menyuruh istirahat. Esok, lusa, setelah lusa dan berharap untuk seterusnya seperti itu. Tapi sayangnya, harapan itu harus berganti dengan harapan baru.

Sore itu, Kau bilang agar aku tidak pergi lama-lama. Tapi ada hal yang tak bisa kukontrol saat itu. Seketika kuingat kau, ku tinggalkan mereka tanpa kata.

Garis jingga senja tinggal satu dua. Gelap malam mulai merona. Tersengal napas sebelum ku bertanya, kudengar mereka berkata, "Kau kemana saja?".

Tak sempat satu kata perpisahan terucap, tak sempat tangan berjabat. Kau menghilang tanpa jejak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun