Arga tiba-tiba bangkit dari tidur nyenyaknya dan berlari melesat ke teras kamarnya yang terletak di lantai dua. Begitupun Sulawi, dia terahir kuingat terduduk manis di depan leptopnya dengan stick game di tangan. Angga dan Jumanto yang memang dari tadi pagi duduk dengan seksama menghadap tumpukan buku-buku rujukan buat sekripsi pun begitu. Mereka tinggalkan begitu saja barang-barang berserakan ini. Sekilas Jumanto yang berlari keluar mengikuti ketiga temannya kembali ke dalam mengambil satu buku kemudian keluar lagi. Sementara aku..?
Kami berlima dari malam sudah mendekamkan diri di kamar Arga dengan urusan masing-masing. Hari minggu hampir menjadi ritual rutin menghabiskan diri bersama komplotan di ruangan berukuran 5 x 7 meter ini. Kamar Arga. Â Tapi beberapa detik di tengah siang itu hampir merubah jalan hidup kami.
Gempa terjadi. Goncangan ringan bumi di kala itu terasa menggugah kalbu untuk menguak siapa diri ini. Ternyata kami masih takut mati. Bukankah hidup ini untuk mati.
Saat itu tak pernah terpikirkan bumi yang cantik dan kokoh ini akan bergetar. Bumi yang selalu diinjak-injak dan dengan kuat hati menerimanya. Bumi tempat bertemu dengan penjual martabak yang terkadang ingin kujumpai di siang hari. Bumi tempat milyaran wanita cantik menanti lamaran. Tapi beberapa detik dia bergetar berhasil meredam getaran gejolak nafsu yang sudah bertahun-tahun mengendap.
Samar-samar ku dengar suara-temanku, "Agung.. mana Agung..?" "Gak lu bangunin..?" "Cepat panggil..!". Sementara getaran masih berlangsung. Beberapa kotoran langit-langit di antara celah plafon atap mulai berguguran satu persatu. Mereka berempat tidak bergeming. Hanya mengeratkan pegangan pada beberapa tiang dan pagar yang berdiri kuat menyangga atap teras. Getaran itu semakin besar.
Sementara aku..?
Aku saat itu tengkurap di antara sadar dan tidak sadar. Antara terjaga dan tidur. Antara ingin ikut berlari dan igauan. Semua terasa samar. Tapi sayup-sayup kudengar suatu suara. Suara speaker. Semakin lama suara itu semakin jelas jelas dan jelas.
"Allahu Akbar.. Sami'allahulimanhadzah.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu akbar". Dalam benakku 'Ah.. pasti mereka mereka lupa lagi mematikan speakernya'. Sejenak kemudian butir-butir pasir kecil berjatuhan. Satu dan beberapa mengenai wajahku. Suatu goncangan kurasakan. Dan membangunkanku. 'Ya Allah.. apakah ini gempa..?' 'apakah aku bermimpi..?'
Panik bercampur keraguan menjalar kesekujur tubuh. 'Pada kemana mereka..?' 'takutkah..?' 'Cemen..!' 'Ingin kutunjukkan pada mereka kalo aku tak takut' 'Tapi seandainya runtuh beneran' 'Tapi tidak mungkin, paling cuma sebentar'. Semua perasaan bercampur dalam benakku tanpa diiringi tindakan. Masih tengkurap. Mata masih di antara kedipan dan pejaman.
Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku mengingat suara speakter tadi, "alangkah beruntungnya mereka yang tengah sholat, alangkah beruntungnya mereka mengakhiri ini semua dengan keribahan menghadap Tuhan Yang Maha Esa, alangkah beruntungnya mereka jika ini semua akan runtuh saat ini."
Terngiang beberapa menit yang lalu saat aku terbangun mendengar kumandang adzan dzuhur musholla beberapa meter dari rumah ini. "mengapa aku tidak bangun dan kesana saat itu, kesana memenuhi penaggilanNya".