Mohon tunggu...
Teresia Simbolon
Teresia Simbolon Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari Kebijaksanaan

Kamu adalah kreasi dan proyek terbesar Sang Penciptamu

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bekerja untuk Hidup atau Hidup untuk Bekerja?

31 Januari 2021   16:46 Diperbarui: 31 Januari 2021   19:58 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang dipanggil untuk bahagia. Apapun profesi dan pekerjaan yang Anda geluti saat ini, seharusnya membawa kebahagiaan. Anda tidak harus menanggung tekanan dan beban hidup olehnya. 

Mari bertanya kepada hati yang jujur, bagaimana kita memaknai pekerjaan menjadi sumber kebahagiaan? Sejauh mana sanggup menjawab pertanyaan mendasar ini, Anda bekerja untuk hidup atau hidup untuk bekerja? 

Jawaban akan pertanyaan ini akan dijawab oleh aktivitas-aktivitas apa saja yang menguasai hidup anda, yakni berapa persen untuk kerja, berapa persen untuk keluarga, berapa persen untuk sesama (sosial)  dan berapa persen untuk diri sendiri (dan Tuhan). 

Harapan memperoleh kebahagiaan dari pekerjaan kadang kala hanya tinggal harapan bagi orang yang hidupnya tidak seimbang. Hati dan pikirannya sering tidak harmonis, sehingga tubuhnya sering berteriak dalam wujud sakit dan nyeri di tubuh. 

Kenyataan membuktikan bahwa memakin besar tanggungjawab seseorang di tempat kerja (entah di kantor atau di unit-unit kerja lain)  semakin banyak pula  hal yang harus dipertanggungjawabkan. Karena kepercayaan yang diberikan pemberi kerja adalah sebuah tanggungjawab. Dalam proses bertanggungjawab atau memberi pertanggungjawaban, seringkali orang menjadi ‘super sibuk’ atau boleh disebut ‘jam terbangnya’ sangat tinggi.

Sebut saja seorang yang bekerja di bidang keuangan, akhir tahun merupakan periode yang tepat untuk memberikan sejumlah pertanggungjawaban mengenai tanggung jawabnya sebagai staf  keuangan. Setiap akhir tahun harus mempersiapkan laporan keuangan secara holistik bahkan sudah harus dapat diaudit oleh pihak yang berkepentingan. 

Syukur bila orang tersebut secara disiplin mencatat semua transaksi pada saat transaksi, membuat catatan keuangan mengenai hal-hal yang perlu, crosscheck dengan secara rutin dengan orang yang berkaitan, dan hal-hal lainnya. Kalau sempat lalai beberapa jam, atau beberapa hari bahkan beberapa minggu, habislah sudah. Pasti di akhir periode,  akan menuai stres.

Kesibukan semakin meluap jika ada kebiasaan buruk untuk menunda-nunda pekerjaan. Namun sadarkah para pekerja tentang kebiasaan yang telah dijalani selama ini sangat berpengaruh pada kesehatan dirinya, relasinya dengan sesama, dan terlebih kepada keluarganya sendiri? Istrinya berhak untuk diperhatikan, anak-anaknya berhak didampingi dan diri sendiri wajib diperhatikan.

Selain ‘kebiasaan buruk’ menunda pekerjaan, tarif lembur yang tinggi juga mempengaruhi kaum pekerja untuk semakin giat bekerja dan bekerja. Disadari atau tidak, waktu lembur yang telah dihabiskan sebenarnya berefek buruk untuk kesehatan. 

Banyak orang yang telah berhasil untuk menemukan cara-cara yang dapat ditempuh agar hidup dan kerjanya seimbang, namun ada banyak juga yang masih gagal. Kuncinya sebenarnya adalah memiliki kemampuan untuk memanajemen diri.

Di sini ada beberapa tips yang membantu untuk menerapkan Worklife balance agar kesehatan jiwa dan raga tetap dapat produktif dan anda hidup bahagia, yaitu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun