Makanan Bergizi Gratis (MBG) merupakan langkah strategis dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Program ini resmi berjalan sejak 6 Januari 2025. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa dengan memenuhi kebutuhan gizi, terutama pada kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah. Selain itu, MBG diharapkan dapat mencegah stunting serta mendukung prestasi akademik. Namun, implementasi program ini masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan penyediaan menu yang optimal.
Program PemerintahSalah satu persoalan yang mencuat adalah menu MBG yang belum memenuhi AKG. Misalnya, janji awal untuk menyediakan susu gratis setiap hari kini hanya terealisasi seminggu sekali. Kondisi ini menunjukkan perlunya inovasi dalam pengelolaan menu, terutama dengan memanfaatkan potensi pangan lokal. Teknologi pangan menawarkan solusi melalui diversifikasi dan pengolahan pangan lokal menjadi produk yang aman, sehat, bergizi, seimbang, murah, dan lezat.
Potensi Pangan Lokal untuk Pemenuhan Gizi
Pangan lokal di Indonesia sering kali hanya dimanfaatkan secara sederhana dan terbatas. Ketika terjadi panen melimpah, harga komoditas turun drastis karena tidak ada diversifikasi produk. Sebagai contoh, buah salak dari Kabupaten Sleman mengalami penurunan harga hingga Rp 750 -- Rp 1.500 per kilogram akibat banyaknya wilayah lain yang juga produksi utamanya salak. Selama ini, salak hanya diolah menjadi keripik, dodol, manisan, atau asinan. Padahal, buah ini memiliki potensi besar untuk diolah menjadi produk turunan yang lebih inovatif seperti camilan kue, brownies, selai, karamel, yoghurt, sambal, bakpia, hingga coklat salak. Bahkan, biji salak dapat diolah menjadi kopi atau teh.
Pemanfaatan salak dalam program MBG tidak hanya memberikan opsi menu yang murah dan bergizi, tetapi juga memberdayakan petani dan UMKM. Selain itu, diversifikasi ini dapat mengurangi penumpukan hasil panen yang dijual segar, meningkatkan nilai ekonomis, dan daya simpan produk
Alternatif Diversifikasi Sumber Gizi
Diversifikasi pangan lokal dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Misalnya, singkong dapat diolah menjadi Modified Cassava Flour (MOCAF), yang dapat menggantikan tepung terigu dalam berbagai produk seperti mi dan roti. Alternatif sumber protein bisa berasal dari kacang tanah, kacang hijau, tempe, atau daun kelor. Produk turunan dari bahan-bahan ini, seperti mi berbasis tepung kacang-kacangan dan daun kelor, menawarkan nilai gizi tinggi yang sesuai untuk kebutuhan gizi kelompok rentan.
Inovasi produk fermentasi juga dapat dikembangkan, misalnya tempe yang tidak hanya diolah menjadi makanan gorengan atau masakan tradisional, tetapi juga dijadikan susu tempe atau tepung tempe. Tepung tempe ini dapat digunakan dalam pembuatan mi, roti, dan kue, sehingga memperkaya variasi menu bergizi.
Peran Akademisi dan Pemerintah
Sebagai akademisi, hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa, dosen, maupun karya ilmiah di bidang teknologi pangan sebaiknya tidak hanya berakhir di atas kertas, namun dapat diarahkan untuk menciptakan inovasi pangan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, produk-produk inovatif yang sehat, bergizi, dan mudah diakses masyarakat dapat tercipta.
Dukungan pemerintah sangat diperlukan, baik dalam bentuk pendanaan maupun pelatihan dari institusi pendidikan kepada masyarakat. Pelatihan ini bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengolahan pangan lokal. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan aktif dalam pemenuhan gizi sekaligus memperkuat kemandirian pangan nasional.