Suatu sekolah didirikan atas dasar harapan, segurat harapan yang  melahirkan keindahan, mengukir sejarah di hati mereka yang mau  menghargainya. Atas ajarannya, kami berjuang untuk menghargai dan  merayakan kehidupan.
"Oma, bagaimana acara tadi?"
"Acaranya begitu megah, musik yang ditampilkan sangat indah. Bukan main,  anak anak yang masih sekolah dapat tampil seperti itu. Bagus sekali",  katanya menanggapi keindahan sebuah perayaan syukur berdirinya sebuah  institusi pendidikan selama sembilan puluh tahun, dimana para tokoh dari  berbagai agama hadir untuk berdoa bersama dan bersyukur kepada Tuhan.
Saya adalah salah satu pemain musik di acara tersebut, dimana sejak  awal, para pemain musik berkesempatan untuk melihat ribuan penonton yang  duduk dan tersenyum di atas bangkunya masing masing. Kemeriahan dan  kebahagiaan acara semakin terasa ketika Gubernur DKI Jakarta hadir di  tempat itu.Â
Tak sedikit handphone milik para siswa maupun orang tua yang  terangkat untuk mengabadikan momen ketika beliau berbicara di depan  panggung. Bahkan kami yang merupakan pemain musik masih juga  menyempatkan diri untuk mengabadikan momen tersebut. Musik dalam acara  tersebut berhasil menceritakan betapa menakjubkan perjalanan sebuah  kolese yang telah berdiri dan berjuang sejak 1927. Acara ditutup dengan  tawa dan senyuman, melukiskan kebahagiaan yang memeluk jiwa para  siswanya.
Tak akan ada lorong pikiran yang menyangka, ketika perayaan semegah itu  dijadikan senjata untuk menyerang nama baik suatu sekolah. Batin ini tak  pernah terpikir betapa hebatnya berita di media sosial dapat  menceritakan tentang ratusan alumni yang melakukan walk-out ketika  bahkan tak satupun dari saya, teman teman, ataupun orang orang yang saya  tanyai menyadari hal itu terjadi.
Diri ini yakin sekali, hampir semua  dari mata mereka yang telah menghadari acara tersebut tidak menyadari  adanya walk-out yang terjadi. Betapa hebatnya berita yang berani  menggambarkan bahwa Gubernur disambut dengan tidak pantas ketika bahkan  kedatangan dan sambutan Gubernur mendapatkan salah satu tepukan tangan  yang paling meriah dalam acara tersebut.
Kami merasa heran, mengapa mata  para pembuat berita tersebut tidak bisa melihat bagaimana para siswa,  guru, dan petinggi sekolah kami begitu menghormati dan menyambut beliau  dengan baik. Tak terpikir bagaimana bisa telinga mereka tidak mendengar  tingginya pujian yang diberikan petinggi sekolah kami kepada beliau. Tak  menyangka bagaimana bisa suatu hati dapat ditutup kabut tebal yang  menutupi nuraninya sendiri.
Ya, berita berita itulah yang berhasil menyeret dan memprovokasi  sebagian dari masyarakat. "Kalian tidak Pancasila?", "Kaum intoleran",  "Manusia kardus pengkhianat bangsa", kata mereka dengan gampangnya. Tak  pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kami harus menghadapi kejamnya teriakan teriakan itu. Kami tidak mengerti mengapa hati kami dipaksa untuk mengerti bagaimana pahit rasanya melihat suatu sekolah yang selalu mengajarkan kami toleransi, memberikan kesempatan bagi para siswanya  untuk hidup di berbagai pesantren, sekolah Islam, maupun sekolah Buddha  dituduh sebagai penyebar intoleransi dan kesesatan.Â
Kami tidak mengerti  mengapa pikiran kami dipaksa untuk tidak berhenti memikirkan hari hari  kami pada minggu ini, ketika kami yang hanya ingin belajar dengan tenang  harus terancam hasutan demo yang beredar luas di masyarakat. Kami tidak  mengerti masih berapa lama lagi waktu yang harus kami habiskan untuk  meyakinkan orang tua kami agar tidak mengkhawatirkan nasib kami di  sekolah.
Kami hanyalah siswa siswa biasa yang mau belajar. Kami tidak tahu sampai  kapan publik mau terseret dalam berita dan hasutan yang tidak berdasar.  Kami juga tidak tahu sampai kapan nama sekolah kami dituduh sebagai  suatu institusi yang melawan nilai toleransi yang sudah mengakar. Tetapi  satu hal yang pasti, Kolese Kanisius adalah almamater kami.