Mohon tunggu...
Agus Syarifudin
Agus Syarifudin Mohon Tunggu... wiraswasta -

mengamalkan dan berbagi keilmuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saat Maru Membuang Muka

18 Juni 2014   16:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:16 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di alam terjadi interaksi antar berbagai penghuni.  Kebetulan di rumah saya, tidak hanya spesies manusia, ada kucing juga.  Keluarga kami memelihara tiga kucing.  Sang terkasih adalah Maru, kucing jantan, gendut, bantet, dan kerjaannya suka tidur.  Interaksi ini, tidak hanya urusan makan dan memberi makan saja. Kadang kami bermain juga.

Saya melihat perkembangan mental dia.  Dari lahir hingga saat ini sudah jalan tiga tahun.  Dia tipe individidu penyendiri. Tidak mau dibelai dan diajak main, bahkan dipangku.  Malas beraktivitas.  Lebih banyak tidur. Minim bersuara.  Keingintahuan rendah. Dan nerimo.

Berbeda dengan dua kucing lain yang sama-sama aktif. Bawel, bentar-bentar mengeong. Kadang suka mencuri makanan, naik ke meja makan, dan bermain tali.  Sedang namun Maru tidak.

Pernah suatu hari dia dia pernah hilang. Kami sekeluarga sedih dan tak berhenti mencari.  Hingga kami pun ikhlas jika dia tidak balik lagi.  Namun, entah jodoh atau apa, dia kembali lagi.  Kami temukan dekat rumah dalam keadaan kumal dan sebagian besar bulunya rontok.

Keadaan mentalnya hancur berantakan. Dia sangat ketakutan dengan manusia.  Dia selalu menjaga jarak minimal satu meter dari manusia terdekat.  Termasuk ibu saya yang pernah tiap hari memberinya makan.

Segala upaya kami lakukan agar dia merasa nyaman lagi di rumah.  Memberi makanan terbaik sesuai kemampuan kami adalah salah satunya.  Dia tiap hari kami beri makan ikan cue tongkol.  Dulu, itu favorit saya . Apalagi jika dibuat balado.  Namun kini tidak, saya bukan Maru!

Seiring waktu, dia kembali sehat.  Badannya gemuk dan bulunya bagus kembali seperti semula.  Ibu kami pun bahagia.  Jerih payahnya terbayarkan.  Saat ini, Maru mau dibelai dan duduk di sampingnya jika Ibu saya sedang rebahan.  Bahkan saat sholat shubuh, si gendut Maru menunggu di depan pintu kamar Ibu dan mengikutinya sampai ia diberi makan.  Lucu juga.

Tapi tindakan ibu saya kontradiktif dengan apa yang saya lakukan.  Kadang saya suka melecehkan dia.  Pegang perutnya yang gendut saat tidur. Mengelus dengan kaki saat dia sedang rebahan. Dan memaksa gendong dia, meski Maru berontak.  Namun dia tidak jaga jarak kepada saya.

Tapi pandangannya sangat tajam kepada saya. Dia seakan tahu, kapan saya akan memberi dia makan atau kapan saya akan mempermainkan dia.  Jika saya ingin memberi makan, tak sungkan dia menempelkan badannya di kaki.  Namun ketika saya ingin menggendongnya, dia langsung ambil langkah seribu.  Ajaib.  Tahu aja. Mungkin tampak perbedaannya dari langkah kaki saya ataugelombang energi yang saya keluarkan.

Hal teremeh bully yang saya lakukan adalah memangilnya “si gendut”.  Padahal saya di rumah juga di katain gendut.  Kalau saya memanggil dia gendut, ajaibnya mukanya langsung membuang.  Tatapannya menjadi tajam.  Saya juga bingung maksudnya apa.  Soalnya tidak ada panduan ekspresi muka kucing dalam literatur psikologi ataupun ahli psikologi. Padahal kucing juga punya jiwa.

Tentu sebagai praktisi terapis psikologi hal ini membuat saya tersentak.  Kok bisa dia buang muka ya? Apa dia paham kata yang saya ucapkan? Bagaimana pola pemahaman itu terjadi? Dari interkasi bagaimana? Segala pertanyaan muncul. Sudahlah..Pertanyaan dan perdebatan tidak akan habis.  Entry point bagi saya adalah bagaimana tatapan mata dia tidak tajam dan dia nyaman dengan saya.

Hari ini setelah olah raga pagi, entah dari mana ilhamnnya saya iseng memanggil Maru, Ganteng. “Eh, si ganteng lagi tiduran..” Awalnya saya melihat dia biasa saja, dan tidak memperhatikan dengan seksama.  Namun sesaat terlihat tatapan matanya berbeda.  Mirip tatapan anak manusia yang senang ketika dipuji. Sumringah. Tapi sangat pendek durasinya.

Bagi saya saat itu seperti sessi terapi anak.  Perlakukan perlu diperpanjang.  Saya mengulang pujian itu lagi. “Si Ganteng, lucu banget sih.” Coba ah dibelai.. Dan dia mau tanpa merubah posisi tidurnya. Dengan tatapan mata yang lebih bersahabat.  Hal ini berbeda sekali jika saya bilang Gendut.

Terlepas dari berbagai pemaknaan dan kontroversi cerita saya ini, saya melihat sesuatu di sini.  Ada pola interaksi yang berbeda saat saya membully dengan kata dan memuji dia dengan kata pula.  Apakah dia mengerti? Atau merasakan gelombang energi kasih sayang saya kepada dia? Atau hanya reaksi spontan dia saja. Tentu hal itu butuh pengujian ilmiah lebih lanjut.

Saya sudah cukup merasa bahagia saat dia menatap dengan lebih damai saat itu.  Mungkin itu kesan saya pribadi saja.  Siapa tahu dalam “mind” Maru mencaci maki saya.  Tahu dari mana? Abis dia tidak bersuara.  Dan kalaupun bersuara atau berbicara, saya tidak mengerti bahasa kucing.  Saya hanya melihat dari ekspresi mukanya saja.

Ini bukan cerita ilmiah. Cuma cerita konyol keseharian saya. Intinya sih, saya paham pola interkasi itu ada antara manusia dan binatang secara emosional dan perilaku.  Itu yang saya rasakan sendiri.  Kalo lihat di program tv dokumenter itu sering.  Tapi ini terejawantahkan dalan kehidupan saya pribadi.  Saya cukup takjub.

Semoga saya bisa menjinakkan Maru lebih lanjut dengan tulus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun