Mohon tunggu...
Humaniora

Menjadi Faqih dalam Kebhinnekaan

13 Maret 2016   19:57 Diperbarui: 13 Maret 2016   20:50 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Teraju Indonesia"][/caption]Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, agama, bahasa dan budaya. Slogannya adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda namun tetap satu jua. Slogan ini lah yang membuat bangsa Indonesia sampai sekarang masih kokoh bersatu dalam perbedaan, unity in diversity. Namun, akhir-akhir ini, kita sering menjumpai fenomena perbedaan yang justru melahirkan permusuhan, pertikaian dan perpecahan. Alih-alih menjadi rahmat dan kasih sayang bagi sesama, perbedaan ---baik yang muncul dari dunia politik, sepak bola, etnis dan utamanya agama--- justru menimbulkan nuqmah dan siksaan bagi sesama.

            Kita perlu merenungi dan menghayati kembali makna “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mampu mempersatukan para pejuang bangsa Indonesia dengan berbagai latar belakang dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia perlu menggagas dan mengampanyekan pentingnya Fiqih Kebhinnekaan, yakni bagaimana menyikapi perbedaan yang hidup dalam sebuah negara, dengan sudut pandang keagamaan yang cinta damai dan anti permusuhan. Secara etimologi, Ibnu Mandhur menjelaskan bahwa kata “Fiqih” bermakna: tahu dan betul-betul faham terhadap sesuatu. Maka dapat difahami bahwa Fiqih Kebhinnekaan adalah ilmu atau faham yang memandang bahwa perbedaan merupakan sebuah rahmat Allah SWT kepada alam semesta, sehingga manusia yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan dengan rukun dan damai sentausa.

            Pada dasarnya, slogan “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan manifestasi dari firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kalian adalah yang paling bertakwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dan Maha Waspada.” Ayat ini memberikan kita pelajaran bahwa perbedaan adalah fitrah manusia yang telah dititahkan oleh Tuhan, supaya manusia bisa saling mengenal satu sama lain. Perbedaan merupakaan sunnatullah yang ada dalam diri manusia, maka pemaksaan terhadap keseragaman sama saja menciderai nilai-nilai kemanusiaan. Dalam ayat tersebut, redaksi yang digunakan adalah “li ta’arafu”, seakar kata dengan “ma’rifat” yang bermakna mengerti secara mendalam. Pada hakikatnya, dengan adanya perbedaan, Tuhan bukan hanya memerintah manusia untuk sekedar mengenal yang berbeda, melainkan juga supaya mereka saling memahami, saling mengerti dan saling berempati antara satu dengan yang lain. Jika manusia mampu ‘arif dalam menyikapi perbedaan, niscaya sabda Baginda Nabi SAW bahwa “perbedaan umatku adalah sebentuk kasih sayang” akan menjadi kenyataan.

            Indonesia adalah taman dengan ribuan bunga dan tanaman. Ragam bunga dan tanaman yang berbeda-beda, justru membuat Indonesia kaya akan keindahan. Karl Emil Maximilian Webber, sosiolog legendaris asal Jerman, pernah mengatakan bahwa budaya yang maju adalah budaya yang heterogen. Heterogenitas budaya yang diungkapkan oleh Webber itu sejatinya ada dalam diri Indonesia. Oleh karenanya, Indonesia sangat memiliki modal untuk menjadi bangsa yang besar, maju dan berbudaya. Syaratnya, jangan paksakan yang heterogen menjadi homogen. Jangan paksakan yang beragam menjadi seragam. Syukuri dan fahami bahwa bangsa ini terlahir dalam kebhinnekaan, maka kemajuan budaya dan peradaban Indonesia bukan lagi sekedar menjadi impian.

            Dalam bingkai kebhinnekaan, semulia-mulia manusia adalah yang paling bertaqwa kepada Tuhannya, inna akramakum ‘indallahi atqakum. Berkaitan dengan hal ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali pernah berkata bahwa semakin seseorang bertaqwa kepada Allah, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhannya, dan semakin rendah hati di hadapan manusia. Bila tolok ukur ketakwaan adalah kedekatan manusia dengan Tuhan serta kerendahan hati terhadap manusia, maka orang yang bertaqwa tidak akan sampai hati mencela, memusuhi, apalagi memerangi saudaranya yang berbeda.

Tabiat orang yang bertaqwa adalah suka membantu sesama manusia, sebab Tuhan mereka pernah berfirman: Allah akan senantiasa menolong hamba, manakala hamba tersebut mau menolong saudaranya. Tanda-tanda orang yang bertaqwa adalah suka menebarkan kedamaian, mengentaskan kemiskinan, dan mempererat tali persaudaraan, karena Nabi mereka pernah bersabda: tebarkanlah kedamaian (afsyu as-salam), berikanlah makanan (ath’imu ath-tha’am), dan sambunglah tali persaudaraan (shilu al-arham), niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh kedamaian. Maka dapat difahami, dalam konteks kebhinnekaan, bahwa yang paling mulia di sisi Tuhan adalah hamba-hambaNya yang ‘arif dan faqih dalam menyikapi perbedaan.

            Menjadi faqih dalam kebhinnekaan adalah syarat utama dalam menghadirkan rahmat perbedaan bagi semesta alam. Bila syarat ini tidak terpenuhi, maka sebuah bangsa yang memiliki keanekaragaman akan mudah terpecah belah, sehingga persatuan menjadi lapuk karena digerogoti sifat dengki dan kebencian. Jika sudah tidak ada lagi kesadaran tentang Fiqih Kebhinnekaan, maka setiap manusia hanya akan memikirkan dirinya sendiri dan golongannya. Orang-orang yang berbeda, alih-alih diperhatikan, justru menjadi lawan yang selalu dimusuhi, lantaran yang tampak hanyalah kekurangan dan kesalahan. Mengapa demikian? Karena manusia yang buta akan Fiqih Kebhinnekaan, hanya memiliki mata kebencian setiap kali melihat saudaranya yang berbeda. Perbedaan, lebih-lebih soal pandangan agama dan politik, selalu menjadi sepercik api pemantik sumbu yang akan meledakkan bom kemarahan yang bersemayam dalam diri mereka. 

Oleh karenanya, apabila kita benar-benar mencintai bangsa Indonesia, maka mari kita sama-sama berusaha untuk menjadi seorang yang faqih dalam kebhinnekaan. Menjadi faqih dalam kebhinnekaan memang berat, karena sama saja dengan merelakan dan mengalahkan diri sendiri untuk orang lain. Akan tetapi, sikap yang demikian akan menumbuh-kembangkan rasa cinta dan kedamaian bagi sesama. Tahadu tahabbu, berbagilah dan berbahagialah! Seorang yang faqih dalam kebhinnekaan akan menjadi manusia yang paling bermanfaat bagi lainnya. Dan kelak, ia akan benar-benar tahu, siapa yang paling mulia harkat dan martabatnya di sisi Tuhannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun