[caption caption="Fikih Kebinekaan--Mizan dan Maarif Institute"][/caption]Indonesia sejatinya merupakan bangsa yang mewarisi semangat kebinekaan dan keragaman. Konsep Bineka Tunggal Ika, yang disarikan dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dengan jelas menggambarkan bagaimana prinsip dan etos kebinekaan yang dimiliki bangsa ini. Akan tetapi, sebagai konsep yang telah lama meresap dalam tindakan, kebinekaan tidak sepenuhnya dipahami sebagai gagasan, sebagai teori, sebagai diskursus. Bahkan, konsep kebinekaan ini sebagian ditolak oleh mereka yang tidak ingin NKRI menjadi prinsip kebangsan, oleh mereka yang misalnya ingin mendirikan negara Islam, dengan konsep Khalifah yang masih menuai perdebatan.
Buku ini, hadir pada momentum yang tepat, ketika bangsa Indonesia membutuhkan rujukan ideologis dan konseptual, bagaimana hidup berbangsa-bernegara dalam situasi yang harmonis. Bagaimana menjalani kodrat sebagai bangsa yang beragam etnis, agama, ras dan ideologi, dapat hidup berdampingan secara wajar? Buku ini memberi jawaban teologis, ideologis, konseptual dan rumusan praktik-praktik kebinekaan yang dapat menjadi renungan.
Fikih Kebinekaan, Rumusan Kebangsaan
Gagasan besar yang dirumuskan dalam buku ini, merupakan hasil Halaqah Fikih Kebangsaan, yang diselenggarakan oleh Ma’arif Institute dan PP Muhammadiyah, pada awal 2015 lalu. Dalam buku ini, gagasan Fikih Kebinekaan menjadi bagian strategis untuk menjawab perdebatan tentang bagaimana Islam dan demokrasi berhasil menemukan irama yang tepat di tengah bangsa ini. Oleh para pendiri bangsa, Islam dan Pancasila dapat berjalanan seiringan, tanpa ada perbenturan dalam konsep dan turunan praktiknya.
Buya Syafi’i Ma’arif menegaskan bahwa, kebinekaan merupakan konsep kunci untuk memahami karakter dasar bangsa Indoensia. “Kebinekaan hanya bisa bertahan lama manakala kita semua mengembangkan kultur toleransi yang sejati, bukan toleransi karena terpaksa atau toleransi yang dibungkus kepura-puraan. Kesejatian merupakan salah satu puncak tertinggi dari capaian manusia beradab” (hal. 24).
Dalam konteks yang seirama, Menteri Agama H. Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan dalam sambutan buku ini, bahwa konsep maqashid syariah menjadi dasar dari rumusan fikih kebinekaan. “Fikih kebinekaan bisa dibangun di atas dasar konsep maslahah, atau biasa disebut mashalah mursalah. Konsep ini dahulu digunakan oleh Imam as-Syatibi untuk merumuskan maqashid as-Syariah, yang menjadi landasan penetapan hukum Islam. Menurut beliau, tujuan pemberlakuan syariah adalah mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok, dalam disiplin ilmu ushul fikih disebut kuliyyat al-khamsah: agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keturunan (an-nasl), akal (al-aql), dan harta (al-mal). Dengan demikian, mashlahah merupakan dasar ijtihad bagi masyarakat modern” ungkapnya.
Dalam buku ini, Azyumardi Azra mencatat bagaimana dinamika persentuhan Islam dan politik kenegaraan di Indonesia. Dalam konteks sejarah panjang bangsa, konsep kenegaraan sudah menjadi perbincangan selama beberapa dekade. Para pendiri bangsa Indonesia, sadar bagaiamana potensi sekaligus tantangan yang dihadapi oleh warga negeri kepulauan ini. Bangsa Indonesia memilih jalan tengah dengan menghadirkan rumusan Pancasila dan Undang-Undang 1945 sebagai platform kenegaraan dan kebangsaan. Indonesia tidak berada pada dua kubu ekstrem, yakni tidak menjadi negara Islam, sekaligus juga tidak menjadi negara sekuler. Politik jalan tengah atau moderasi dalam bernegara inilah yang menjadi bagian penting dalam sejarah panjang bangsa ini. Dalam renungannya, Azyumardi Azra mengungkapkan bagaimana interaksi Islam dan politik di negeri ini dapat memberi ruang bagi demokrasi, pluralisme, HAM, kebebasan kewargaan dan multikulturalisme. Inilah yang menjadi tantangan penting bagsa Indonesia (hal. 115–120).
Perspektif Kebangsaan
Untuk menjaga harmoni dan menegaskan prinsip kebinekaan bangsa ini, Hilman Latief menghimbau agar bangsa Indonesia merumuskan pendekatan baru dalam memahami realitas kebinekaan. “Tugas penting bagi kalangan muslim sebagai warga mayoritas di Indonesia, saat ini adalah bagaimana merumuskan pendekatan baru dalam melihat realitas kebinekaan di Indonesia sebagai tawaran untuk meningkatkan harmoni sosial antar-umat beragama dan mendorong masyarakat Indonesia yang berkeadilan. Dalam konteks ini, buku Fikih Kebinekaan ini menemukan relevansinya (hal. 29–30). Buku ini, menurut Latief, tidak berpretensi untuk menjawab persoalan hubungan sosial antara umat beragama secara menyeluruh, melainkan memberikan perspektif dan pemikiran tentang bagaimana Islam berbicara kebinekaan dari pelbagai aspeknya.
Bagaimana menjaga agar prinsip kebinekaan dapat menjadi bagian dari praktik hidup bangsa ini secara kontinyu? Yudi Latif menyampaikan rumusan tentang pentingnya interaksi silang budaya. “Memberi isi pada hidup kebangsaan berarti memberi prasyarat budaya untuk bangkit. Di sini, kita memerlukan transformasi dalam dimensi mitos, logos dan etos kebangsaan. Mitos lama yang mempercayai bahwa kemenangan suatu kelompok etnis-keagamaan harus dibayar oleh kekalahan kelompok lain harus diakhiri. Kepercayaan baru perlu dihadirkan dengan kejembaran untuk berbagi kebahagiaan dengan merayakan kemenangan secara bersama. Yudi Latif mengungkapkan, perlu adanya proses penyerbukan silang budaya (cross-culture vertilization), yang menghasilkan persenyawaan yang unggul dan produktif (hal. 300–301).
Sejalan dengan rumusan ini, konsep Fikih kebangsaan dapat menjadi referensi konseptual, ideologis dan praktik kehidupan bagi bangsa ini. Meski kebinekaan menjadi ritual yang telah dihayati berabad-abad, akan tetapi secara konseptual masih menemukan kritik dalam perdebatan. Untuk tugas itu, buku ini menemukan konteksnya[].