Tipe SufismeÂ
Dalam buku, Marcia Hermansen membagi gerakan sufi di Barat menjadi tiga tipe: gerakan hibrida, perenial dan cangkokan. Tipe hibrida, adalah gerakan yang menunjukkan kaitan erat dengan sumber muatan Islam, yang menempel dalam kerangka non-Islam. Gerakan ini, menarik minat kalangan imigran, orang-orang yang terlahir di Barat ataupun yang tersosialisasi di lingkungan baru. Tipe perenial, umumnya mewakili kelompok yang dekat dengan ide bahwa kebenaaran merupakan dasar semua agama (hal. 32).Â
Perkembangan sufisme di negara Barat, karena terkait konteks dan persaingan antar institusi juga mengakibatkan konflik di kalangan mereka. Konflik ini, baik dalam skala internal maupun eksternal menjadi bagian dari dinamika persebaran sufisme di Barat. Dalam narasi buku ini, konflik tidak perlu dianggap sebagai patologi sosial atau penyimpangan, akan tetapi juga dipandang sebagai kontribusi dalam stabilitas dan daya rekat masyarakat yang berkembang. Berbagai kecenderungan konflik dan pola saling bergantungan ini, terekam dalam transformasi Tarekat Sulaymanci yang diulas dalam riset Jonker, transformasi tarekat Nimatullahi yang dianalisis Lewishon, serta Tarekat Haqqaniyah yang dikaji Damrel dan Nielsen.Â
Tentu saja, konflik bukan berarti perkelahian ataupun pertentangan yang berlarut-larut. Konflik yang ada merupakan bagian dari dinamika untuk menghadirkan pandangan-pandangan Islam yang selaras dalam diri warga Barat. Salah satu contohnya, perkembangan sufisme di negeri Inggris. Ron Geaves mengkaji tentang bagaimana dinamika kelompok sufisme di Inggris Raya. Dalam catatan Geaves, perkembangan sufisme di Inggris tidak mudah, karena diwarnai dengan perdebatan dan kritik dari pengikut neo-wahabisme. Kelompok neo-wahabi ini, sebagian besar dari anak-anak muda yang sudah tidak terlalu terikat dengan asal-muasal negeri orang tuanya. Imigran dari Timur Tengah, maupun Turki yang masuk ke Inggris menjadi diaspora muslim, yang kemudian mewujudkan identitasnya dalam beberapa tradisi sufisme.Â
Di Inggris, perkembangan sufisme juga mendapat pertentangan berupa kritik dari kaum neo-wahabisme. Kaum muda yang cenderung mengikuti pandangan neo-wahabisme, seringkali mengkritik bahwa sufisme hanya sebagai takhayul yang menyimpang yang tertanam dalam praktik dan kepercayaan tradisi pedesaan sub-benua India itu, serta dicemari oleh kontak Islam dengan agama Hindu (hal.278). Persoalan tentang imigran juga menjadi bahan kritik terhadap kaum sufi, yang dianggap hanya mengagungkan negeri asal, tanpa mau beradaptasi dengan perkembangan negeri di kawasan Inggris.Â
Buku ini, memberi sumbangan yang berharga karena menghadirkan narasi sufisme yang berbeda dengan arus mainstream di dunia Islam. Perkembangan sufisme di negeri Barat, tidak hanya tentang hadirnya Islam, akan tetapi lebih dari itu sebagai sebuah transformasi identitas. Sufisme dengan demikian, menjadi simbol toleransi dan humanisme, karena tidak dogmatis, fleksibel dan anti-kekerasan, tidak berupaya ke arah pembentukan suatu tatanan ketuhanan yang monolitik. Sufisme dianggap sebagai titik awal untuk adaptasi Islam, terutama dalam konteks praktik Islam versi Eropa serta bagi perjumpaan antar agama
[Munawir Aziz/@MunawirAziz]
https://medium.com/@munawiraziz
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H